Pragmatisme Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat

32

MEMINJAM sebuah ungkapan dari seorang Zainal Arifin Mochtar, dia mangatakan Kebijakan dalam bentuk Perundang-undangan yang dibangun berbasiskan paradigma yang pas nyaris punah, jika bukan lahir karena kepentingan elit, ia biasanya lahir dari pragmatisme peraturan.

Kutipan tersebut mungkin bisa menjadi sebuah penuntun yang reflektif dan evaluatif didalam kita memahami dan menyelami lebih dalam didalam isu berkaitan dengan politik hukum pengakuan masyarakat adat di negeri ini. Karena sebagaimana kita ketahui bersama pada tanggal 9 agustus merupakan peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional, yang tentunya seperti yang sudah-sudah tetap dan terus menyisakan berbagai tugas penting bagi penyelenggara negara khususnya dalam hal ini adalah pemerintah republik Indonesia secara berjenjang sampai pada lapisan yang terbawah untuk segera diselesaikan.

Pada saat ini dalam penelusuran penulis berdasarkan catatan dari Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH, MHum, setidaknya Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, pengakuan masyarakat hukum adat melalui produk hukum daerah terus mengalami peningkatan. Sejak Mei 2013– Agustus 2021 terdapat 50 Perda yang secara spesifik berisi pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang tersebar di 49 Kabupaten/Kota di 18 Provinsi di Indonesia. Dari 50 Perda yang telah diterbitkan pasca Putusan MK No. 35 Tahun 2012 tersebut sudah menetapkan 615 komunitas masyarakat hukum adat. Perda yang paling banyak menetapkan komunitas masyarakat hukum adat adalah Perda Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan, yang menetapkan sebanyak 519 Kesepuhan.

Selanjutnya, bagaimana di Kalimantan Tengah sendiri? Pada 26 november 2021 Pusat Kajian Hukum Agraria & Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang (PAgA FHUA) bersama Kementerian ATR/BPN melaksanakan FGD kegiatan identifikasi dan inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Kalteng, yang menyebutkan hanya ada 0,94% tanah adat saat ini di Kalteng, tentu saja kita boleh tidak bersepakat dengan hasil ini, baik karena perbedaan konsep pendekatan, metode penelitian atau murni karena ketidakterimaan berdasarkan perasaan dan emosi belaka. Semestinya kedepan penting untuk melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam berkaitan identifikasi dan inventarisasi hak-hak ulayat warga adat Dayak itu sendiri, agar ada data yang bisa menjadi pembanding kalaupun tandingan merupakan bahasa yang terlalu berlebihan dari apa yang telah dilakukan PAgA FHUA dan Kementerian ATR/BPN.

Baca Juga :  Sektor Pariwisata Kalteng dan Kejuaraan Internasional Mountain Bike

Kemudian berdasarkan kajian mendalam tersebut krusial bagi para praktisi maupun akademisi yang berjuang dalam isu masyarakat adat daerah duduk bersama merumuskan makna dan tujuan utama dari pengakuan atas masyarakat adat itu sendiri terletak pada apa? hemat penulis yakni tentunya pada kedaulatan–atau keiikutsertaan bermakna–warga adat/ persekutuan masyarakat yang bersangkutan didalam merumuskan dan memutuskan aturan-aturan, pilihan keputusan dan kehendak atas hidup mereka sendiri.

Selanjutnya penting ada perumusan yang mesti menjadi focus dan tujuan yang diketahui dan diperjuangkan oleh setiap komunitas adat seperti hak-hak dari masyarakat adat yang telah menjadi subjek hukum tersebut atas penguasaan dan pengelolaan tanah dan hutan, baik secara komunal dan personal dalam bahasa lokalnya di akui sebagai bagian yang diatur dari produk hukum itu sendiri, cukup dan inilah yang menjadi tujuan utama, biarlah pengaturan mengenai hak atau kewajiban, ritual atau eksistensi, makanan dan minuman tradisonal, kearifan lokal lainnya diatur dengan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah lainnya.

Baca Juga :  Waspada Efek Kabut Asap Karhutla pada Sistem Pernapasan

Di tengah iklim politik hukum minim keberpihakan bagi masyarakat adat, seringkali lahirnya produk perundang-undangan termasuk peraturan daerah itu karena kepentingan elit (termasuk penguasa lokal, elit adat, akademisi titipan), peraturan itu juga biasanya lahir dari pragmatisme peraturan, sehingga dengan niatan yang baik hendak mengatur banyak hal dalam produk hukum tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dengan tidak sadar pula membuat substansi inti dari kebutuhan primer untuk memperbaiki posisi tawar dan eksistensi keberadaan masyarakat adat itu sendiri menjadi kabur dan gagal dalam pengimplementasiannya.

Belajar dari perjalanan panjang perjuangan masyarakat adat selama ini semestinya telah mengajari kita bersama dimana ‘nafsu besar’ pendamping dan atau komunitas yang diorganisir sering kali membuat komunitas itu untuk mencapai kepentingan dasarnya pun gagal, ditengah miskinnya politik keberpihakan pada masyarakat adat, proses birokrasi yang berbelit dan rumit, berbagai aturan yang saling bertentangan sehingga mengalami kemacetan dalam pengimplementasian, menjadikan hal sebagaimana yang penulis sebut dan terangkan diatas sebagai tujuan utama bukanlah sebuah fesimisme perjuangan tentunya melainkan sebuah langkah yang sistematis, terukur dan rasional untuk masyarakat adat pada masa-masa yang akan datang guna lebih berdaulat dan berdaya. Karena tentu tujuan ditetapkannya pengaturan dari pengakuan dan perlindungan masyarakat adat adalah untuk kembali berdaulatannya masyarakat adat itu sendiri atas berbagai sumber daya alam yang ada didalam wilayah adatnya, bukan semata justru menjadi proyek dan ladang mencari makan dari mereka yang konon membela masyarakat adat. Selamat Hari Masyarakat Adat sedunia.