Rabu, Mei 8, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Jaga Eksistensi Masyarakat Adat

PALANGKA RAYA-Masyarakat adat membutuhkan regulasi agar kehidupan mereka dapat diakui dan dijaga. Kehidupan mereka harus diakui melalui peraturan pemerintah yang menghargai dan menjaga eksistensi mereka di Bumi Tambun Bungai ini. Upaya itu harus dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud dari visi pembangunan yang berbasis nilai kemanusiaan. Hal itu ditegaskan pengamat sosial dan kebijakan masyarakat adat, Dr Sidik Rahman Usop MS.

Menurutnya, masyarakat adat di Kalteng masih membutuhkan peraturan pemerintah yang mengakui, menghargai, dan melindungi hak-hak sebagai masyarakat adat. Kondisi terkini, dilihat dari kacamata ilmu sosial pembangunan, perda perlindungan masyarakat adat mutlak diperlukan, mengingat pembangunan dewasa ini tidak lagi berpihak pada kebudayaan masyarakat.

“Dalam dinamika kehidupan masa kini, sebetulnya kebudayaan itu tidak dipandang lagi sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan, karena itu di wilayah Kalteng ini jangan sampai adat dan budaya kehilangan identitasnya, karena identitas itu penting bagi masyarakat Dayak, kalau identitas itu hilang, masyarakat Dayak akan tergusur dari wilayahnya sendiri,” jelas dosen sosiologi Fisipol Universitas Palangka Raya (UPR) ini kepada Kalteng Pos, Senin (13/3).

Menurut akademisi yang menamatkan studi doktor sosiologi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dalam dinamika pembangunan masyarakat, kemajuan pembangunan di daerah harus menempatkan adat dan budaya masyarakat setempat sebagai komponen penting dalam pengambilan kebijakan.

“Ke depannya budaya-budaya lokal yang bisa didapat dari eksistensi masyarakat adat akan menjadi penting bagi kehidupan bersama dalam konteks masa depan, di mana nantinya orang-orang di masa depan mencari nilai-nilai kehidupan alternatif untuk mereka melihat makna hidup,” katanya.

Melalui peraturan daerah (perda) yang dapat mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat adat, budaya lokal yang dapat ditemui dari masyarakat adat akan memiliki nilai jual dari sisi pengetahuan di masa mendatang. Dikatakannya, kearifan lokal masyarakat adat justru akan menjadi pengetahuan yang akan mengisi ruang akademik di dunia. Melalui masyarakat adat, ilmu kedayakan akan mengisi perpustakaan kearifan lokal di dunia.

“Nantinya ilmu terkait masyarakat lokal bukan semata jadi sumber kearifan masyarakat Kalteng, tetapi juga untuk dunia, nilai-nilai budaya Dayak itu justru akan memberikan sebuah pengetahuan alternatif bagi dinamika kehidupan masyarakat dunia, pengetahuan kedayakan akan memberikan warna bagi kehidupan dunia global,” tuturnya.

Karena itu, lanjut Usop, diperlukan visi pembangunan dari pemerintah yang melindungi dan menghargai eksistensi masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai. Usop menilai visi pembangunan pemerintah dan paradigma masyarakat adat di Kalteng saat ini tidak dapat ditemukan benang merahnya.

Baca Juga :  Perahu Nelayan Jakarta Tenggelam di Kumai

“Sejauh ini pemerintah belum melakukan pembangunan yang berorientasi memanusiakan manusia, dalam hal ini masyarakat adat di Kalteng, justru masyarakat adat yang mau tersingkirkan, kami tidak mau terjadi itu, karena yang kami perjuangkan itu bukan hanya masyarakat lokal, tapi juga nasional dan global supaya tidak kehilangan identitas,” jelasnya.

Diperlukan kebijakan pemerintah yang pro terhadap eksistensi masyarakat adat. Keberadaan masyarakat adat memberi warna bagi keberagaman Kalteng khususnya dan Indonesia secara luas. Keberadaan mereka harus terus dihargai dan dijaga melalui kebijakan-kebijakan yang menempatkan mereka pada posisi penting dalam pembangunan.

“Jadi kita mempertahankan eksistensi masyarakat adat ini sama dengan kita ingin mempertahankan budaya-budaya di Indonesia yang beragam ini,” tandasnya.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong para pemangku kepentingan untuk memberi perhatian terhadap masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai. “Hak-hak masyarakat adat di Kalteng ini belum sepenuhnya terakomodasi melalui kebijakan pemerintah, seperti hutan adat dan wilayah adat, kalau mengacu secara administrasi atau legal formal, hal-hal seperti itu harus ditetapkan oleh pemerintah melalui kebijakan daerah seperti perda atau SK kepala daerah,” ucap Ketua AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Minggu (12/3).

Salah satu yang begitu disoroti pihaknya terkait pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai ini adalah pengakuan terhadap hutan adat. Berdasarkan pengamatan AMAN Kalteng, sejauh ini hanya ada satu hutan adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

“Hutan adat yang sudah ditetapkan ada satu, letaknya di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau. Baru satu itu yang ditetapkan pemerintah, padahal di Kalteng ini ada banyak hutan adat,” bebernya.

Ferdi mengatakan, ada banyak hutan adat di Kalteng yang belum atau tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dapat dikenali sebagai hutan adat berdasarkan jejak historisnya. “Kalau bicara dalam satu bingkai NKRI, penting adanya pengakuan dari pemerintah terhadap hutan adat,” tuturnya.

Berdasarkan catatan AMAN Kalteng, ada 342 hutan adat yang belum diakui pemerintah. Angka tersebut merupakan jumlah keseluruhan komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng. “Itu hanya komunitas adat yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalteng, belum lagi yang tidak tergabung, artinya masih ada banyak lagi,” bebernya.

Baca Juga :  Wali Kota Terima Penghargaan Kota Layak Anak

Untuk mendapat pengakuan pemerintah atas eksistensi wilayah hutan adat, sebagian besar dari 342 komunitas adat itu sudah mulai melakukan penataan wilayah adat secara mandiri dan melengkapi dokumen-dokumen historis, meliputi asal-usul masyarakat adat serta pengelolaan wilayahnya.

Menurut Ferdi, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat memang terus berprogres, meskipun terbilang kecil. Karena itu, pemerintah harus lebih memahami konteks masyarakat adat secara komprehensif.

“Pemerintah masih menilai masyarakat adat adalah warga yang menggunakan pakaian tradisional sepenuhnya serta atribut-atribut kesukuan lain, padahal tidak demikian, masyarakat adat di Kalteng juga sudah modern, sebaiknya pemerintah tidak gunakan indikator demikian untuk mengidentifikasi masyarakat adat di suatu wilayah,” jelasnya.

Menurutnya, pemerintah tidak cukup memahami masyarakat adat berdasarkan pengertian subjek. Harus lebih dipahami berdasarkan jejak genealogis dan historis. Tidak bisa hanya diidentifikasi dari tampilan permukaan. “Karena di Kalteng ini masyarakat adat tidak hanya suku Dayak,” tambahnya.

Ferdi berharap pemerintah bersikap netral terhadap konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan pihak tertentu.

“Kami berharap pemerintah menurunkan ego, lalu melihat dengan cara pandang masyarakat adat, baik itu berbicara soal hutan adat, wilayah adat, dan hak-hak. Karena enggak bakalan ketemu ketika pemerintah melihat masyarakat adat dari sudut pandang negara, karena masyarakat adat itu sudah ada sejak dahulu kala, butuh pendekatan khusus yang kontekstual terhadap kebutuhan mereka,” tandasnya.

Sementara itu, wakil rakyat sedang memperjuangkan hak masyarakat adat. Kini sudah masuk dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (raperda). Ketua Bapemperda DPRD Kalteng Duwel Rawing mengatakan, dalam raperda itu ada hak atas tanah, hak pengakuan atas tanah, dan hak-hak lain yang harus didapatkan oleh masyarakat di sekitar perkebunan dan pertambangan, dengan kewajiban pihak perusahaan untuk membina masyarakat di sekitar.

“Raperda itu perlu diselesaikan dahulu, karena itu inisiatif dewan, kami selesaikan dahulu di kalangan DPRD, nantinya akan kami bahas dengan pemerintah daerah,” ungkap Duwel Rawing, Minggu (12/3). (dan/ce/ala)

 

PALANGKA RAYA-Masyarakat adat membutuhkan regulasi agar kehidupan mereka dapat diakui dan dijaga. Kehidupan mereka harus diakui melalui peraturan pemerintah yang menghargai dan menjaga eksistensi mereka di Bumi Tambun Bungai ini. Upaya itu harus dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud dari visi pembangunan yang berbasis nilai kemanusiaan. Hal itu ditegaskan pengamat sosial dan kebijakan masyarakat adat, Dr Sidik Rahman Usop MS.

Menurutnya, masyarakat adat di Kalteng masih membutuhkan peraturan pemerintah yang mengakui, menghargai, dan melindungi hak-hak sebagai masyarakat adat. Kondisi terkini, dilihat dari kacamata ilmu sosial pembangunan, perda perlindungan masyarakat adat mutlak diperlukan, mengingat pembangunan dewasa ini tidak lagi berpihak pada kebudayaan masyarakat.

“Dalam dinamika kehidupan masa kini, sebetulnya kebudayaan itu tidak dipandang lagi sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan, karena itu di wilayah Kalteng ini jangan sampai adat dan budaya kehilangan identitasnya, karena identitas itu penting bagi masyarakat Dayak, kalau identitas itu hilang, masyarakat Dayak akan tergusur dari wilayahnya sendiri,” jelas dosen sosiologi Fisipol Universitas Palangka Raya (UPR) ini kepada Kalteng Pos, Senin (13/3).

Menurut akademisi yang menamatkan studi doktor sosiologi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dalam dinamika pembangunan masyarakat, kemajuan pembangunan di daerah harus menempatkan adat dan budaya masyarakat setempat sebagai komponen penting dalam pengambilan kebijakan.

“Ke depannya budaya-budaya lokal yang bisa didapat dari eksistensi masyarakat adat akan menjadi penting bagi kehidupan bersama dalam konteks masa depan, di mana nantinya orang-orang di masa depan mencari nilai-nilai kehidupan alternatif untuk mereka melihat makna hidup,” katanya.

Melalui peraturan daerah (perda) yang dapat mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat adat, budaya lokal yang dapat ditemui dari masyarakat adat akan memiliki nilai jual dari sisi pengetahuan di masa mendatang. Dikatakannya, kearifan lokal masyarakat adat justru akan menjadi pengetahuan yang akan mengisi ruang akademik di dunia. Melalui masyarakat adat, ilmu kedayakan akan mengisi perpustakaan kearifan lokal di dunia.

“Nantinya ilmu terkait masyarakat lokal bukan semata jadi sumber kearifan masyarakat Kalteng, tetapi juga untuk dunia, nilai-nilai budaya Dayak itu justru akan memberikan sebuah pengetahuan alternatif bagi dinamika kehidupan masyarakat dunia, pengetahuan kedayakan akan memberikan warna bagi kehidupan dunia global,” tuturnya.

Karena itu, lanjut Usop, diperlukan visi pembangunan dari pemerintah yang melindungi dan menghargai eksistensi masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai. Usop menilai visi pembangunan pemerintah dan paradigma masyarakat adat di Kalteng saat ini tidak dapat ditemukan benang merahnya.

Baca Juga :  Perahu Nelayan Jakarta Tenggelam di Kumai

“Sejauh ini pemerintah belum melakukan pembangunan yang berorientasi memanusiakan manusia, dalam hal ini masyarakat adat di Kalteng, justru masyarakat adat yang mau tersingkirkan, kami tidak mau terjadi itu, karena yang kami perjuangkan itu bukan hanya masyarakat lokal, tapi juga nasional dan global supaya tidak kehilangan identitas,” jelasnya.

Diperlukan kebijakan pemerintah yang pro terhadap eksistensi masyarakat adat. Keberadaan masyarakat adat memberi warna bagi keberagaman Kalteng khususnya dan Indonesia secara luas. Keberadaan mereka harus terus dihargai dan dijaga melalui kebijakan-kebijakan yang menempatkan mereka pada posisi penting dalam pembangunan.

“Jadi kita mempertahankan eksistensi masyarakat adat ini sama dengan kita ingin mempertahankan budaya-budaya di Indonesia yang beragam ini,” tandasnya.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong para pemangku kepentingan untuk memberi perhatian terhadap masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai. “Hak-hak masyarakat adat di Kalteng ini belum sepenuhnya terakomodasi melalui kebijakan pemerintah, seperti hutan adat dan wilayah adat, kalau mengacu secara administrasi atau legal formal, hal-hal seperti itu harus ditetapkan oleh pemerintah melalui kebijakan daerah seperti perda atau SK kepala daerah,” ucap Ketua AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Minggu (12/3).

Salah satu yang begitu disoroti pihaknya terkait pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai ini adalah pengakuan terhadap hutan adat. Berdasarkan pengamatan AMAN Kalteng, sejauh ini hanya ada satu hutan adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

“Hutan adat yang sudah ditetapkan ada satu, letaknya di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau. Baru satu itu yang ditetapkan pemerintah, padahal di Kalteng ini ada banyak hutan adat,” bebernya.

Ferdi mengatakan, ada banyak hutan adat di Kalteng yang belum atau tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dapat dikenali sebagai hutan adat berdasarkan jejak historisnya. “Kalau bicara dalam satu bingkai NKRI, penting adanya pengakuan dari pemerintah terhadap hutan adat,” tuturnya.

Berdasarkan catatan AMAN Kalteng, ada 342 hutan adat yang belum diakui pemerintah. Angka tersebut merupakan jumlah keseluruhan komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng. “Itu hanya komunitas adat yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalteng, belum lagi yang tidak tergabung, artinya masih ada banyak lagi,” bebernya.

Baca Juga :  Wali Kota Terima Penghargaan Kota Layak Anak

Untuk mendapat pengakuan pemerintah atas eksistensi wilayah hutan adat, sebagian besar dari 342 komunitas adat itu sudah mulai melakukan penataan wilayah adat secara mandiri dan melengkapi dokumen-dokumen historis, meliputi asal-usul masyarakat adat serta pengelolaan wilayahnya.

Menurut Ferdi, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat memang terus berprogres, meskipun terbilang kecil. Karena itu, pemerintah harus lebih memahami konteks masyarakat adat secara komprehensif.

“Pemerintah masih menilai masyarakat adat adalah warga yang menggunakan pakaian tradisional sepenuhnya serta atribut-atribut kesukuan lain, padahal tidak demikian, masyarakat adat di Kalteng juga sudah modern, sebaiknya pemerintah tidak gunakan indikator demikian untuk mengidentifikasi masyarakat adat di suatu wilayah,” jelasnya.

Menurutnya, pemerintah tidak cukup memahami masyarakat adat berdasarkan pengertian subjek. Harus lebih dipahami berdasarkan jejak genealogis dan historis. Tidak bisa hanya diidentifikasi dari tampilan permukaan. “Karena di Kalteng ini masyarakat adat tidak hanya suku Dayak,” tambahnya.

Ferdi berharap pemerintah bersikap netral terhadap konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan pihak tertentu.

“Kami berharap pemerintah menurunkan ego, lalu melihat dengan cara pandang masyarakat adat, baik itu berbicara soal hutan adat, wilayah adat, dan hak-hak. Karena enggak bakalan ketemu ketika pemerintah melihat masyarakat adat dari sudut pandang negara, karena masyarakat adat itu sudah ada sejak dahulu kala, butuh pendekatan khusus yang kontekstual terhadap kebutuhan mereka,” tandasnya.

Sementara itu, wakil rakyat sedang memperjuangkan hak masyarakat adat. Kini sudah masuk dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (raperda). Ketua Bapemperda DPRD Kalteng Duwel Rawing mengatakan, dalam raperda itu ada hak atas tanah, hak pengakuan atas tanah, dan hak-hak lain yang harus didapatkan oleh masyarakat di sekitar perkebunan dan pertambangan, dengan kewajiban pihak perusahaan untuk membina masyarakat di sekitar.

“Raperda itu perlu diselesaikan dahulu, karena itu inisiatif dewan, kami selesaikan dahulu di kalangan DPRD, nantinya akan kami bahas dengan pemerintah daerah,” ungkap Duwel Rawing, Minggu (12/3). (dan/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/