Senin, Mei 13, 2024
25.4 C
Palangkaraya

Kontras Beberkan Temuan Tragedi Bangkal, Hasil Investigasi Dilaporkan ke LPSK

PALANGKA RAYA-Penyelidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap tragedi penembakan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, pada Sabtu (7/10) lalu. Konflik agraria yang berujung pada satu warga tewas dan terluka itu disinyalir menambah catatan buruk bagi dunia investasi di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal pun terus menyoroti penyelidikan atas kasus ini. Salah satu anggota tim advokasi tersebut adalah organisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Pihaknya mendapatkan sejumlah temuan yang menjadi bukti adanya dugaan tindakan represif oleh aparat dalam proses pengamanan perusahaan sawit di wilayah Desa Bangkal.

Kepala Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan investigasi mendalam untuk menyelidiki terkait tragedi tersebut selama lima hari. Investigasi itu dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi kejadian, melakukan pengamatan, serta mewawancarai para saksi dan keluarga korban meninggal akibat konflik.

Berdasarkan hasil dari investigasi tersebut, terdapat enam temuan yang disinyalir menjadi bukti dari tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam tragedi tersebut. Temuan pertama adalah adanya kebijakan pengerahan aparat secara berlebihan.

Menurutnya, terdapat langkah pengerahan aparat secara masif ke Desa Bangkal sejak dimulainya demonstrasi pada 16 September 2023 hingga 7 Oktober 2023. Masifnya aparat yang dikerahkan berujung pada terjadinya bentrokan.

“Lalu ada penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang, kemudian timbulnya jumlah korban jiwa dan luka, adanya penangkapan dan upaya paksa sewenang-wenang, lalu ada pengrusakan terhadap kendaraan milik warga,” beber Andrie kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Terakhir, lanjut Andrie, adanya pernyataan yang keliru dan menyesatkan dari aparat dalam konteks memberikan pernyataan di hadapan publik pascaperistiwa di Desa Bangkal. Temuan-temuan itu sudah pihaknya sampaikan kepada publik pada Minggu (15/10).

Dari enam temuan tersebut, Andrie mengatakan, hal yang perlu menjadi perhatian adalah adanya penggunaan senjata api dan gas air mata yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat. Ketika pihaknya mendalami kesaksian dari para korban, peristiwa 7 Oktober itu pihaknya duga merupakan akumulasi dari rentetan kekerasan dan tindakan brutal yang sebelumnya pernah dialami warga setempat.

“Dalam temuan itu kami bagi menjadi tiga babak, yakni praperistiwa, peristiwa 7 Oktober, kemudian pascaperistiwa. Pada praperistiwa itu ada penggunaan gas air mata dan peluru karet yang menurut kami itu tidak sepatutnya dilakukan,” terangnya.

Ia menerangkan, pada kejadian di 21 September, terdapat potongan video yang memperlihatkan adanya mobil pikap sedang berjalan dan ditembaki oleh gas air mata dari barikade aparat keamanan, pada saat pihaknya dalami, mobil pickup tersebut isinya logistik makanan yang akan diantar ke pos 4 tempat massa aksi berkumpul.

“Di dalamnya ada perempuan dan anak-anak muda yang hendak mengantar. Logistik itu diantar dari pos 10 menuju pos 4. Tapi ketika berjalan menuju ke pos 4, sudah ada barikade dari aparat. Saat itu, alih-alih polisi menyetop mobil kemudian menanyakan maksud dan tujuan, malah ditembakkan gas air mata secara langsung ke mobil itu,” jelasnya.

Andrie menjelaskan, juga terdapat proyektil yang masuk ke dalam bak pikap, lalu membuat salah satu warga sempat terjatuh dari mobil. Dari peristiwa tersebut, pihaknya menilai seharusnya aparat keamanan melakukan cara-cara yang lebih persuasif.

Baca Juga :  Ketua DPRD Terima Kunjungan Kapolres Seruyan

“Itu yang perlu dihighlight selain peristiwa 7 Oktober, dari rentetan peristiwa itulah kami kemudian dapat pada kesimpulan bahwa adanya pengerahan aparat secara berlebihan dan penggunaan senjata api secara sewenang-wenang,” ucapnya.

Menurut Andrie, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, ketika masyarakat secara patut melakukan aksi demonstrasi maka mengirimkan surat pemberitahuan terlebih dahulu bahwa aksi akan dilakukan secara damai.

“Pada 16 September aksi berlangsung damai karena memang tidak ada niat untuk melakukan pengrusakan atau membuat rusuh dari masyarakat, mereka murni menuntut hak kepada pihak perusahaan,” jelasnya.

Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi dengan sepatutnya, Andrie menyebut kepolisian seharusnya juga menjaga agar bagaimana hak menyampaikan aspirasi oleh masyarakat itu bisa dijalankan.

“Sebetulnya kami mempertanyakan kenapa kepolisian menjaga aset perusahaan atau mengamankan aksi-aksi warga,” ujarnya.

Temuan pihaknya menunjukkan terdapat surat perintah dari Polda Kalteng yang ditujukan kepada beberapa satuan di antaranya Satuan Sabhara, Satuan Brimob, Direktorat Intelkam, Polres Seruyan, dan Polres Kotim. Dalam surat perintah itu ditemukan adanya pengerahan sekitar 420 aparat ke lapangan tapi dengan periode 29 September-5 Oktober.

“Itu jadi tanda tanya besar, kenapa pengerahan aparat terlalu banyak apalagi dilengkapi alat-alat anti huru hara seperti tameng dan gas air mata,” ucapnya.

Dalam rentetan peristiwa hingga peristiwa 7 Oktober yang terdapat tragedi tewasnya salah satu warga desa setempat, Kontras mendorong adanya pertanggungjawaban pidana terhadap tindak kekerasan termasuk juga penembakan yang menyebabkan satu orang warga Desa Bangkal yang meninggal dunia.

 

“Perlu didorong suatu mekanisme proses hukum yang harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tetap melaporkan perkembangan proses hukum secara terbuka kepada publik,” ujarnya.

Dorongan yang pihaknya sampaikan tersebut mengingat situasi hari ini pihaknya melihat belum ada satu proses hukum terhadap peristiwa meninggalnya Gijik. Dalam temuan itu, pihaknya mendapati bahwa Gijik ditembak menggunakan peluru tajam. Tidak ada dilakukan proses hukum terhadap adanya korban meninggal di situ.

“Kami menduga sangat kuat, Gijik ditembak menggunakan senjata api,” tambahnya.

Kontras menekankan agar proses hukum terhadap pelaku dijalankan secara tegas. Akan tetapi ia juga menekankan, ketika proses itu dilakukan dan kemudian dibuat laporan polisi, lantas didorong untuk diselesaikan melalui proses penegakan hukum, tindakan hukum itu jangan hanya menyasar pada pelaku yang ada di lapangan saja.

“Tapi tindakan hukum itu juga harus menyasar pada siapa komandan tertinggi yang menggerakkan pasukan di 7 Oktober itu, siapa yang menjadi penanggung jawab, siapa perwiranya, apa jabatannya,” jelas Andrie seraya menyebut bahwa langkah itu penting dilakukan dalam proses pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi korban.

Andrie menegaskan, jangan hanya pelaku lapangan yang diseret ke pengadilan, tetapi juga atasannya yang memerintah atau mengomandoi pasukan untuk melakukan tindakan pengamanan.

Desakan itu bukan tanpa dasar. Andrie menyebut, pihaknya mendapatkan dua video pada saat kejadian 7 Oktober, satu video dari arah warga yang menghadap ke petugas pengamanan, satu lagi dari belakang petugas ke arah warga. Pada dua video itu terdapat dua instruksi yang disebutkan oleh komandan kepada pasukannya untuk melakukan penembakan. Instruksi pertama ada yang meminta agar gas air mata ditembakkan ke arah warga, jangan ke atas.

“Instruksi kedua ada yang meminta pasukannya untuk membidik ke arah kepala warga sembari mengatakan ‘AK, AK, persiapan, ayo kita bermain’, itu kan ada instruksi tegas, terdengar dan terdokumentasikan oleh warga,” terangnya.

Baca Juga :  Bangunan SD Ambruk, Polsek Pasang Garis Polisi

Oleh karena itu, Andrie meminta sudah sepatutnya polisi atau penyidik tidak hanya terpusat pada pelaku lapangan, tapi juga perwira yang memerintahkan dan itu terekam jelas, terdokumentasikan, dan dituangkan dalam laporan yang pihaknya kumpulkan.

Pada Rabu (18/10), dirinya bersama dengan tim lainnya dari Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sudah menyerahkan laporan hasil investigasi terhadap peristiwa yang terjadi di Desa Bangkal kepada Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK menerima dengan baik laporan kami itu. Memang kami menuntut kepada LPSK agar mereka memberikan perlindungan terhadap saksi-saksi yang melihat peristiwa di 7 Oktober tersebut,” ucapnya.

Alasan pihaknya melaporkan hasil investigasi itu kepada LPSK karena hal itu berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan penembakan. Ketika kesaksian dilakukan melalui proses pro justisia, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan, para saksi dapat memberikan keterangannya secara bebas dan imparsial.

“LPSK bisa mengupayakan agar para saksi bisa terlindungi dan memberikan keterangannya secara bebas, sehingga tidak ada gangguan atau ancaman dari pihak-pihak tertentu,” ucapnya.

Saat dikonfirmasi Kalteng Pos terkait temuan dari Kontras tersebut, Kabidhumas Polda Kalteng, Kombes Pol Erlan Munaji, tidak berkomentar banyak. Ia menyerahkan keputusan akhir berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim investigasi.

“Kita tunggu nanti hasil temuan dari tim investigasi ya,”ujarnya kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Sebelumnya, Erlan menjelaskan, tim investigasi terus bekerja untuk mengungkap tragedi penembakan di Bangkal. Erlan menyebut saat ini tim investigasi masih bekerja. Mereka masih melakukan pemeriksaan terhadap personel, pengecekan balistik, yang mana nanti hasilnya akan disampaikan langsung oleh tim investigasi.

“Sudah menjadi komitmen Kapolri dan Kapolda bahwa kami terbuka. Apabila ada oknum yang terbukti melakukan pengamanan, kita tetap ambil langkah tegas,” ujarnya.

Ia menegaskan, apabila memang ditemukan oknum anggota Polri yang melakukan penembakan, maka akan ditindak tegas langsung oleh Polda Kalteng. Saat ini pihaknya masih melihat hasil penyelidikan, hasil otopsi, maupun balistik yang nantinya akan disampaikan Biddokkes dan Puslabfor.

“Polri dalam hal ini Polda Kalteng berkomitmen mengungkap permasalahan ini. Transparansi dalam proses penyelidikan dengan tim gabungan yang saat ini diperbantukan,” tuturnya.

Ditanya apakah ada target dalam pengusutan konflik tersebut, Erlan tidak bisa memastikan. Sebab, scientific investigation seperti yang diterapkan oleh tim investigasi membutuhkan waktu untuk penelitian dan pemeriksaan. “Makanya kita harus bersabar menunggu hasil penyelidikan,” ujarnya.

Kepolisian dituding melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atas konflik di Desa Bangkal karena menimbulkan korban jiwa dalam proses pengamanan. Menanggapi hal itu, Erlan  menyebut hasilnya bagaimana nanti akan dibuktikan oleh penyelidik.

“Terkait dugaan pelanggaran HAM berat, bisa dibuktikan nanti karena sudah ada penyelidikan dari Komnas HAM dan Kompolnas,” ucapnya.

Terkait 20 warga yang kemarin ditangkap aparat kepolisian, Erlan menyebut nantinya akan dianalisis siapa-siapa yang ditetapkan sebagai tersangka. “20 warga statusnya diamankan di lapangan, beberapa membawa senjata tajam. Nanti akan dianalisis siapa yang ditetapkan sebagai tersangka atau kemarin sebagai pengguna narkoba,” tandasnya. (dan/ram)

PALANGKA RAYA-Penyelidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap tragedi penembakan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, pada Sabtu (7/10) lalu. Konflik agraria yang berujung pada satu warga tewas dan terluka itu disinyalir menambah catatan buruk bagi dunia investasi di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal pun terus menyoroti penyelidikan atas kasus ini. Salah satu anggota tim advokasi tersebut adalah organisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Pihaknya mendapatkan sejumlah temuan yang menjadi bukti adanya dugaan tindakan represif oleh aparat dalam proses pengamanan perusahaan sawit di wilayah Desa Bangkal.

Kepala Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan investigasi mendalam untuk menyelidiki terkait tragedi tersebut selama lima hari. Investigasi itu dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi kejadian, melakukan pengamatan, serta mewawancarai para saksi dan keluarga korban meninggal akibat konflik.

Berdasarkan hasil dari investigasi tersebut, terdapat enam temuan yang disinyalir menjadi bukti dari tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam tragedi tersebut. Temuan pertama adalah adanya kebijakan pengerahan aparat secara berlebihan.

Menurutnya, terdapat langkah pengerahan aparat secara masif ke Desa Bangkal sejak dimulainya demonstrasi pada 16 September 2023 hingga 7 Oktober 2023. Masifnya aparat yang dikerahkan berujung pada terjadinya bentrokan.

“Lalu ada penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang, kemudian timbulnya jumlah korban jiwa dan luka, adanya penangkapan dan upaya paksa sewenang-wenang, lalu ada pengrusakan terhadap kendaraan milik warga,” beber Andrie kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Terakhir, lanjut Andrie, adanya pernyataan yang keliru dan menyesatkan dari aparat dalam konteks memberikan pernyataan di hadapan publik pascaperistiwa di Desa Bangkal. Temuan-temuan itu sudah pihaknya sampaikan kepada publik pada Minggu (15/10).

Dari enam temuan tersebut, Andrie mengatakan, hal yang perlu menjadi perhatian adalah adanya penggunaan senjata api dan gas air mata yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat. Ketika pihaknya mendalami kesaksian dari para korban, peristiwa 7 Oktober itu pihaknya duga merupakan akumulasi dari rentetan kekerasan dan tindakan brutal yang sebelumnya pernah dialami warga setempat.

“Dalam temuan itu kami bagi menjadi tiga babak, yakni praperistiwa, peristiwa 7 Oktober, kemudian pascaperistiwa. Pada praperistiwa itu ada penggunaan gas air mata dan peluru karet yang menurut kami itu tidak sepatutnya dilakukan,” terangnya.

Ia menerangkan, pada kejadian di 21 September, terdapat potongan video yang memperlihatkan adanya mobil pikap sedang berjalan dan ditembaki oleh gas air mata dari barikade aparat keamanan, pada saat pihaknya dalami, mobil pickup tersebut isinya logistik makanan yang akan diantar ke pos 4 tempat massa aksi berkumpul.

“Di dalamnya ada perempuan dan anak-anak muda yang hendak mengantar. Logistik itu diantar dari pos 10 menuju pos 4. Tapi ketika berjalan menuju ke pos 4, sudah ada barikade dari aparat. Saat itu, alih-alih polisi menyetop mobil kemudian menanyakan maksud dan tujuan, malah ditembakkan gas air mata secara langsung ke mobil itu,” jelasnya.

Andrie menjelaskan, juga terdapat proyektil yang masuk ke dalam bak pikap, lalu membuat salah satu warga sempat terjatuh dari mobil. Dari peristiwa tersebut, pihaknya menilai seharusnya aparat keamanan melakukan cara-cara yang lebih persuasif.

Baca Juga :  Ketua DPRD Terima Kunjungan Kapolres Seruyan

“Itu yang perlu dihighlight selain peristiwa 7 Oktober, dari rentetan peristiwa itulah kami kemudian dapat pada kesimpulan bahwa adanya pengerahan aparat secara berlebihan dan penggunaan senjata api secara sewenang-wenang,” ucapnya.

Menurut Andrie, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, ketika masyarakat secara patut melakukan aksi demonstrasi maka mengirimkan surat pemberitahuan terlebih dahulu bahwa aksi akan dilakukan secara damai.

“Pada 16 September aksi berlangsung damai karena memang tidak ada niat untuk melakukan pengrusakan atau membuat rusuh dari masyarakat, mereka murni menuntut hak kepada pihak perusahaan,” jelasnya.

Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi dengan sepatutnya, Andrie menyebut kepolisian seharusnya juga menjaga agar bagaimana hak menyampaikan aspirasi oleh masyarakat itu bisa dijalankan.

“Sebetulnya kami mempertanyakan kenapa kepolisian menjaga aset perusahaan atau mengamankan aksi-aksi warga,” ujarnya.

Temuan pihaknya menunjukkan terdapat surat perintah dari Polda Kalteng yang ditujukan kepada beberapa satuan di antaranya Satuan Sabhara, Satuan Brimob, Direktorat Intelkam, Polres Seruyan, dan Polres Kotim. Dalam surat perintah itu ditemukan adanya pengerahan sekitar 420 aparat ke lapangan tapi dengan periode 29 September-5 Oktober.

“Itu jadi tanda tanya besar, kenapa pengerahan aparat terlalu banyak apalagi dilengkapi alat-alat anti huru hara seperti tameng dan gas air mata,” ucapnya.

Dalam rentetan peristiwa hingga peristiwa 7 Oktober yang terdapat tragedi tewasnya salah satu warga desa setempat, Kontras mendorong adanya pertanggungjawaban pidana terhadap tindak kekerasan termasuk juga penembakan yang menyebabkan satu orang warga Desa Bangkal yang meninggal dunia.

 

“Perlu didorong suatu mekanisme proses hukum yang harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tetap melaporkan perkembangan proses hukum secara terbuka kepada publik,” ujarnya.

Dorongan yang pihaknya sampaikan tersebut mengingat situasi hari ini pihaknya melihat belum ada satu proses hukum terhadap peristiwa meninggalnya Gijik. Dalam temuan itu, pihaknya mendapati bahwa Gijik ditembak menggunakan peluru tajam. Tidak ada dilakukan proses hukum terhadap adanya korban meninggal di situ.

“Kami menduga sangat kuat, Gijik ditembak menggunakan senjata api,” tambahnya.

Kontras menekankan agar proses hukum terhadap pelaku dijalankan secara tegas. Akan tetapi ia juga menekankan, ketika proses itu dilakukan dan kemudian dibuat laporan polisi, lantas didorong untuk diselesaikan melalui proses penegakan hukum, tindakan hukum itu jangan hanya menyasar pada pelaku yang ada di lapangan saja.

“Tapi tindakan hukum itu juga harus menyasar pada siapa komandan tertinggi yang menggerakkan pasukan di 7 Oktober itu, siapa yang menjadi penanggung jawab, siapa perwiranya, apa jabatannya,” jelas Andrie seraya menyebut bahwa langkah itu penting dilakukan dalam proses pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi korban.

Andrie menegaskan, jangan hanya pelaku lapangan yang diseret ke pengadilan, tetapi juga atasannya yang memerintah atau mengomandoi pasukan untuk melakukan tindakan pengamanan.

Desakan itu bukan tanpa dasar. Andrie menyebut, pihaknya mendapatkan dua video pada saat kejadian 7 Oktober, satu video dari arah warga yang menghadap ke petugas pengamanan, satu lagi dari belakang petugas ke arah warga. Pada dua video itu terdapat dua instruksi yang disebutkan oleh komandan kepada pasukannya untuk melakukan penembakan. Instruksi pertama ada yang meminta agar gas air mata ditembakkan ke arah warga, jangan ke atas.

“Instruksi kedua ada yang meminta pasukannya untuk membidik ke arah kepala warga sembari mengatakan ‘AK, AK, persiapan, ayo kita bermain’, itu kan ada instruksi tegas, terdengar dan terdokumentasikan oleh warga,” terangnya.

Baca Juga :  Bangunan SD Ambruk, Polsek Pasang Garis Polisi

Oleh karena itu, Andrie meminta sudah sepatutnya polisi atau penyidik tidak hanya terpusat pada pelaku lapangan, tapi juga perwira yang memerintahkan dan itu terekam jelas, terdokumentasikan, dan dituangkan dalam laporan yang pihaknya kumpulkan.

Pada Rabu (18/10), dirinya bersama dengan tim lainnya dari Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sudah menyerahkan laporan hasil investigasi terhadap peristiwa yang terjadi di Desa Bangkal kepada Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK menerima dengan baik laporan kami itu. Memang kami menuntut kepada LPSK agar mereka memberikan perlindungan terhadap saksi-saksi yang melihat peristiwa di 7 Oktober tersebut,” ucapnya.

Alasan pihaknya melaporkan hasil investigasi itu kepada LPSK karena hal itu berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan penembakan. Ketika kesaksian dilakukan melalui proses pro justisia, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan, para saksi dapat memberikan keterangannya secara bebas dan imparsial.

“LPSK bisa mengupayakan agar para saksi bisa terlindungi dan memberikan keterangannya secara bebas, sehingga tidak ada gangguan atau ancaman dari pihak-pihak tertentu,” ucapnya.

Saat dikonfirmasi Kalteng Pos terkait temuan dari Kontras tersebut, Kabidhumas Polda Kalteng, Kombes Pol Erlan Munaji, tidak berkomentar banyak. Ia menyerahkan keputusan akhir berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim investigasi.

“Kita tunggu nanti hasil temuan dari tim investigasi ya,”ujarnya kepada Kalteng Pos, Kamis (19/10).

Sebelumnya, Erlan menjelaskan, tim investigasi terus bekerja untuk mengungkap tragedi penembakan di Bangkal. Erlan menyebut saat ini tim investigasi masih bekerja. Mereka masih melakukan pemeriksaan terhadap personel, pengecekan balistik, yang mana nanti hasilnya akan disampaikan langsung oleh tim investigasi.

“Sudah menjadi komitmen Kapolri dan Kapolda bahwa kami terbuka. Apabila ada oknum yang terbukti melakukan pengamanan, kita tetap ambil langkah tegas,” ujarnya.

Ia menegaskan, apabila memang ditemukan oknum anggota Polri yang melakukan penembakan, maka akan ditindak tegas langsung oleh Polda Kalteng. Saat ini pihaknya masih melihat hasil penyelidikan, hasil otopsi, maupun balistik yang nantinya akan disampaikan Biddokkes dan Puslabfor.

“Polri dalam hal ini Polda Kalteng berkomitmen mengungkap permasalahan ini. Transparansi dalam proses penyelidikan dengan tim gabungan yang saat ini diperbantukan,” tuturnya.

Ditanya apakah ada target dalam pengusutan konflik tersebut, Erlan tidak bisa memastikan. Sebab, scientific investigation seperti yang diterapkan oleh tim investigasi membutuhkan waktu untuk penelitian dan pemeriksaan. “Makanya kita harus bersabar menunggu hasil penyelidikan,” ujarnya.

Kepolisian dituding melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atas konflik di Desa Bangkal karena menimbulkan korban jiwa dalam proses pengamanan. Menanggapi hal itu, Erlan  menyebut hasilnya bagaimana nanti akan dibuktikan oleh penyelidik.

“Terkait dugaan pelanggaran HAM berat, bisa dibuktikan nanti karena sudah ada penyelidikan dari Komnas HAM dan Kompolnas,” ucapnya.

Terkait 20 warga yang kemarin ditangkap aparat kepolisian, Erlan menyebut nantinya akan dianalisis siapa-siapa yang ditetapkan sebagai tersangka. “20 warga statusnya diamankan di lapangan, beberapa membawa senjata tajam. Nanti akan dianalisis siapa yang ditetapkan sebagai tersangka atau kemarin sebagai pengguna narkoba,” tandasnya. (dan/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/