Pendidikan Moderasi Beragama Bukan Sekadar Wacana

393
Prof. Dr. Ahmad Dakhoir, SHI, MHI,

Oleh: Ahmad Dakhoir

PEMBANGUNAN keagamaan di Indonesia dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir menghadirkan paradoks tersendiri. Hal ini bukan tanpa alasan. Fakta bahwa di satu sisi, berbagai bentuk layanan pendidikan keagamaan, baik itu berasal dari negara maupun dari masyarakat sudah sangat variatif, namun di sisi lain, fenomena intoleransi keagamaan justru meningkat. Fenomena intoleransi atau ketiadaan tenggang rasa dalam beragama masih kerap terjadi baik dalam realita sosial maupun realita virtual melalui beragam platforms media digital. Ironinya dan tentu menjadi keprihatinan bersama ialah beberapa lembaga pendidikan justru terindikasi menjadi tempat persemaian paham intoleran atau radikal.

Sejumlah hasil kajian atau riset pun memberikan gambaran tersebut, di antaranya BNPT (2018) mencatat terdapat 7 perguruan tinggi negeri yang terpapar paham radikalisme. Sementara itu, Setara Institut (2019) menyebutkan jumlah yang lebih banyak, yaitu sebanyak 10 perguruan tinggi negeri terpapar paham radikalisme. Fenomena intoleransi juga terjadi pada lembaga pendidikan jenjang menengah melalui unit kegiatan Rohis, demikian juga pada lembaga pendidikan keagamaan di masyarakat. Perilaku intoleransi pada peserta didik mengambil berbagai bentuk seperti temuan Alvara Research Center (2017) yang menyebutkan bahwa sebanyak 23.5% mahasiswa setuju dengan negara yang berdasarkan agama tertentu. BIN (2018) menyebutkan bahwa sebanyak 39% mahasiswa di 15 provinsi terpapar paham radikal. Terlepas dari lahirnya perdebatan publik terkait sejumlah temuan dari hasil kajian tersebut, diakui ataupun tidak diakui, kehidupan keagamaan di negeriini masih memunculkan persoalan tersendiri untuk ditangani.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, masalah pembangunan di bidang agama tidak hanya masalah intoleransi, tetapi juga masalah lemahnya karakter anak bangsa. Oleh karena itu, pembangunan keagamaan membutuhkan suatu terobosan baru. Setidaknya, pengguliran wacana moderasi beragama sejak 2016 oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, menjadi jawaban strategis untuk menangani intoleransi. Patut untuk diketahui bersama bahwa pendidikan moderasi beragama merupakan salah satu agenda revolusi mental yang dicanangkan pemerintah dan sudah termaktub dalam rancangan teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurut Murtadlo (2021), revolusi mental pemerintah saat ini diagendakan untuk menjawab 3 masalah krusial, yaitu lemahnya wibawa negara, meningkatnya perilaku intoleran, dan masih lemahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Menyikapi fakta sosial dan keagamaan sebagaimana disebutkan di atas, kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan penting, yaitu kepada siapa tumpuan harapan untuk penguatan (kembali) nilai-nilai moderasi beragama di negeri ini dialamatkan?. Kita barangkali memiliki jawaban yang sama dan dapat disepakati, yaitu dunia pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mendirikan dan menyelenggarakan lembaga pendidikan berbasis agama, perlu diarahkan untuk menguatkan gagasan moderasi beragama. Oleh karena itu, pendidikan moderasi beragama perlu dikembangkan berbarengan dengan pembangunan karakter peserta didik (Murtadlo, 2021). Dengan demikian, pendidikan moderasi beragama diharapkan menjadi jawaban atas sasaran revolusi mental yang menghendaki lahirnya karakter diri peserta didik yang berintegritas, memiliki etos kerja, dan berjiwa gotong royong serta terwujudnya budaya bangsa yang bermartabat, berkeadilan, moderen, maju, makmur, dan sejahtera.

Baca Juga :  Sertifikat Halal Gratis untuk UMKM Dibagikan

Pemahaman moderasi beragama

Lahirnya gagasan atau wacana moderasi beragama tentu saja tidak lahir dari ruang kosong. Kelahirannya memiliki pondasi epistemologis dan juga aksiologis. Kata moderasi secara kebahasaan (etimologi)dapat dipahami sebagai bentuk sikap tengah-tengah di antara beberapa ekstremitas. Dalam konteks bahasa Arab, moderasi beragama dimaknai dengan kata wasathiyah atau tawasuth. Dengan demikian, moderat dalam beragama adalah bersikap luwes, tidak kaku, dan toleran terhadap keberadaan agama lain yang mempraktikkan ajaran-ajarannya tanpa kehilangan esensi keimanan dalam beragama.

Menurut Murtadlo (2021), moderasi yang dimaksud adalah berada dalam bidang nonteologis, yakni bidang kehidupan saat para pemeluk agama berinteraksi. Singkat kata, moderasi beragama sesungguhnya merupakan sikap keberagamaan yang terbuka, kesediaan hidup bersama, dan bekerja sama menjadi warna kearifan yang tumbuh di masyarakat dan menjadi modal untuk meneruskan kebersamaan sekali pun berbeda keyakinan. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika substansi moderasi beragama yang telah menjadi nilai khas bangsa Indonesia perlu dilestarikan dan dikembangkan oleh segenap warga bangsa.

Kita harus mengerti dan memahami dengan benar bahwa moderasi beragama tentu saja bukanlah agama baru atau membuat agama baru (Zainuddin, 2022), melainkan suatu cara dan pendekatan dalam menegakkan dan meneguhkan kembali bahwa agama itu pada hakikatnya untuk mengatur hubungan yang baik dan benar, baik secara vertikal kepada Tuhan maupun horizontal sesama manusia dan alam sekitar. Pendidikan moderasi beragama tentu menjadi penting untuk diprogramkan karena pada prinsipnya mengandung nilai-nilai karakter tertentu. Hal ini selaras dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional yang berorientasi pada pembentukan karakter. Karakter moderat diusung oleh Kementerian Agama (2019) dalam konsep moderasi beragama yang berisi 4 nilai, yaitu terkait relasi agama dan negara (komitmen kebangsaan), relasi antarumat beragama (toleransi), ekspresi keagamaan yang ramah (nirkekerasan), relasi agama dan budaya (arif terhadap budaya lokal). Keempat nilai karakter moderat inilah yang seharusnya dibangun dalam konteks kehidupan sosial bangsa Indonesia, terutama di ranah dunia pendidikan.

Relasi simbiosis-mutualistik agama dan negara

Diskursus moderasi beragama yang digaungkan oleh pemerintah pada dasarnya tidak terlepas dari perbincangan relasi agama dan negara. Indonesia memiliki sejarah panjang terkait konsepsi agama dan negara ini, sejak masa prakolonial hingga Indonesia merdeka. Pada akhirnya, bangsa Indonesia telah bersepakat atau mufakat bahwa dasar negara Republik Indonesia ialah Pancasila, meskipun secara historis rumusan dasar negara Indonesia melalui perdebatan panjang. Oleh karena itu, Pancasila menjadi falsafah dan landasan bernegara yang sudah semestinya dijaga, dirawat, dihayati, dan untuk selanjutnya diejahwantahkan ke dalam praktik kehidupan sosial warga bangsa Indonesia.

Baca Juga :  Penerapkan Metode Directive Counseling dalam Proses Pembelajaran

Narasi-narasi dan upaya-upaya politis yang diamplifikasi atau disuarakan oleh kelompok-kelompok sosial atau keagamaan tertentu, utamanya paham dan gerakan transnasional, untuk mengubah dasar negara Pancasila tentu saja bertentangan dengan konsensus bersama dan oleh karenanya wajib untuk ditolak. Bagaimanapun relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia sudah final (Indonesia bukan negara agama). Tidak ada lagi ruang perdebatan menyoal relasi agama dan negara dengan dalih apapun.Pilihan menjadikan agama bukan sebagai dasar negara, setidaknya mendapatkan penjelasan teoritik. Dari 3 penjelasan teoritik seperti dikemukakan oleh J.P. Wogaman (2000), satu di antaranya ialah teori simbiotik, dua lainnya, yaitu integralistik dan sekularistik. Teori simbiotik memberikan penjelasan bahwa agama dan negara merupakan 2 entitas yang berbeda, tetapi keduanya dapat membangun hubungan secara fungsional. Hubungan agama dan negara secara simbiosis-mutualistik dengan demikian dipandang sebagai hubungan yang paling tepat untuk Indonesia. Setiap warga bangsa Indonesia dengan demikian berkewajiban untuk menjaga dan merawat Republik ini dengan senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai religiusitas dan kebangsaan. Hanya dengan cara seperti itu, keutuhan dan kesatuan bangsa ini akan terus terjaga dan terpelihara. Kemajuan sebuah bangsa atau negara hanya akan bisa terwujud jika keharmonisan tercipta dalam kehidupan warga bangsanya dan memiliki komitmen kebangsaan yang sama.

Beragama dengan riang gembira

Esensi dasar beragama ialah kebaikan umum (bonum commune). Beragama sejatinya meniscayakan lahirnya kebaikan-kebaikan yang melampaui batas-batas atau sekat-sekat primordialistik. Sebab nilai dasar semua agama ialah bagaimana berbuat baik atau menanamkan kebaikan. Dalam konteks inilah, nilai-nilai agama yang luhur tidak cukup sekadar diinternalisasi oleh para pemeluknya, tetapi juga penting untuk diobjektifikasi ke ranah praksis. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama apapun, bahkan penganut aliran kepercayaan, semestinya beragama atau berkeyakinan dengan riang gembira, bukan justru saling mencurigai, saling menghina atau saling merendahkan, mengobarkan api permusuhan, dan sederet perilaku buruk lainnya yang justru kontraproduktif bagi kehidupan umat beragama dan kehidupan sosial yang lebih baik.

Dalam agama Islam sendiri misalnya, salah satu ajarannya dengan jelas dan tegas memberikan panduan kepada pemeluknya bahwa orang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir agar menjaga keselamatan saudaranya (baca:sesama manusia) dari lisan dan perilaku buruk. Artinya, perilaku keagamaan pada dasarnya dipandu dengan nilai-nilai moral, budi pekerti atau akhlak. Seseorang yang berperilaku keagamaannya buruk dapat berarti moral atau akhlaknya pun buruk. Agama adalah rahmat semesta dan karenanya beragama berarti berbahagia. Dengan demikian, pendidikan moderasi beragama bukan sekadar wacana diskursifan sich, namun mewujud dalam praktik kehidupan berkebangsaan.(*)

*) Penulis merupakan Guru Besar IAIN Palangka Raya dan Mustasyar PCNU Kota Palangka Raya