Senin, Mei 20, 2024
30.5 C
Palangkaraya

Mencari Formula Penghitungan Upah Minimum yang Ideal

PEMERINTAH melalui menteri ketenagakerjaan pada 16 November lalu telah menandatangani Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum (UM) 2023 lengkap dengan formula penghitungan yang baru. Sesuai permenaker tersebut, upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 direncanakan akan ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat pada 28 November 2022. Dilanjutkan dengan upah minimum tingkat kabupaten/kota (UMK) yang akan diumumkan paling lambat pada 7 Desember 2022. Ditegaskan pula, besaran kenaikan UM tahun 2023 adalah maksimal sebesar 10 persen.

 

Sesuai dengan Permenaker 18/2022, formula penghitungan kenaikan UM tahun 2023 berubah menjadi UM(t+1) = UM(t) + (penyesuaian nilai UM x UM(t)), di mana UM(t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan, sedangkan UM(t) adalah upah minimum tahun berjalan. Penyesuaian nilai UM dimaksudkan adalah penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa). α adalah sebuah indeks dengan rentang 0,10 dan 0,30 yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar peran tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tentu saja nilai α akan semakin besar.

 

Dalam sepuluh tahun terakhir, paling tidak sudah dua kali formula penghitungan UM ini disesuaikan. Pertama adalah PP 78/2015 di mana UM secara otomatis disesuaikan berdasar penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Kemudian PP 36/2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, mempertimbangkan lebih banyak variabel baru, termasuk di dalamnya daya beli masyarakat (konsumsi per kapita), dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja.

 

Seperti yang disampaikan menteri ketenagakerjaan, salah satu kekuatan dari formula penghitungan di PP 36/2021 yang lalu adalah upaya untuk mengurangi disparitas upah antardaerah. Melihat kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi dan lagi harus berhadapan dengan inflasi global memaksa pemerintah untuk meninjau kembali formula yang dimilikinya dan menjadikan Permenaker 18/2022.

 

Pengalaman Berbagai Negara

Baca Juga :  Ironi Dunia Pendidikan Indonesia

Bagaimana dengan pengalaman negara lain terkait formula penghitungan UM? Formula yang digunakan cukup beragam dan cukup banyak pendekatan yang dipakai. Brasil, misalnya, menggunakan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar penghitungan. Sedangkan Kosta Rika, selain inflasi dan pertumbuhan ekonomi, juga memasukkan perhitungan tingkat pengangguran dan nilai tukar. Selanjutnya, Malaysia mempertimbangkan variabel tingkat kemiskinan dan produktivitas kerja (sumber: website ILO).

 

Meskipun demikian, tujuan utama penggunaan formula matematis adalah seragam, yaitu untuk meningkatkan prediktabilitas terhadap kenaikan UM. Sembari tetap memberikan perlindungan bagi pekerja dan menjamin upah minimum sebagai wage floor (jaring pengaman) dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja. Ini juga mengurangi dari keharusan bernegosiasi tentang penyesuaian setiap tahun yang terkadang berbiaya tinggi dan menghilangkan kemungkinan kenaikan upah secara mendadak yang lebih didorong oleh faktor politis ketimbang faktor ekonomi.

 

Variabel yang paling sering diakomodasi sebagai pertimbangan dalam pembuatan formula UM adalah inflasi. Dengan menjaga kenaikan UM selaras dengan inflasi, daya beli riil dari pekerja tetap terjamin. Namun, penggunaan inflasi bukanlah tanpa kelemahan.

 

Pengalaman dari beberapa negara Eropa dan Amerika Latin menunjukkan bahwa masuknya inflasi ke dalam formula penghitungan dapat memicu terjadinya ”inersia inflasi” dalam keadaan tertentu. Artinya, pengakomodasian inflasi ke dalam formula justru dapat berpotensi menularkan inflasi pada masa yang akan datang dan bahkan menjadi penghambat penurunan tingkat inflasi.

 

Oleh karena itu, sebagian besar negara yang menggunakan formula inflasi dalam penentuan UM-nya perlu menyertakan faktor ekonomi lain sebagai penyeimbang. Misalnya pertumbuhan ekonomi atau produktivitas tenaga kerja. Hanya, pertumbuhan ekonomi di banyak kasus cenderung kurang stabil dan sangat berfluktuasi. Ini tentunya juga akan mengurangi kemampuan prediktabilitas dan menyumbangkan ketidakpastian lagi terhadap hasil penghitungan.

 

Bagaimana Formula yang Ideal?

Terlepas dari polemik perdebatan formula yang terbaik dan ideal untuk digunakan, inflasi sepertinya masih menjadi momok utama di tengah terjadinya ketidakpastian global saat ini. Formula dalam Permenaker 18/2022 berusaha mengantisipasi hal tersebut dan bahkan memasukkan inflasi dengan penekanan yang lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi. Hal positif lain adalah pemberian bobot α yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini akan menjadi sebuah insentif bagi daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonominya berpihak terhadap labour-intensive sector yang semakin produktif. Sektor-sektor padat karya tentunya sangat diperlukan dewasa ini mengingat potensi bonus demografi yang belum sepenuhnya termanfaatkan dengan baik.

Baca Juga :  Sales Panci

 

Dengan karakter pasar kerja antardaerah di Indonesia yang sangat bervariasi, tentunya penghitungan dan penetapan UM idealnya harus mengikuti kondisi daerah provinsi atau kabupaten/kota tersebut. Namun, tentu situasinya akan jauh lebih rumit apabila setiap daerah memiliki formula sendiri-sendiri. Apabila tetap menggunakan formula perhitungan nasional seperti sekarang, tentunya tetap diperlukan ruang untuk dialog sosial (collective bargaining) atau untuk mencapai keputusan yang berbeda atas dasar pertimbangan tertentu sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Sehingga penggunaan formula tidaklah bersifat substitusi bagi terjadinya negosiasi tripartit pada situasi-situasi tertentu.

 

Formula yang sederhana tetap perlu dipertahankan mengingat akan lebih mudah dioperasikan dan dikomunikasikan. Beberapa pengalaman negara lain dengan sistem yang lebih kompleks cenderung akan kehilangan keefektifannya dan membutuhkan lebih banyak dukungan kelembagaan. Masalah ketersediaan dan aksesibilitas data oleh publik juga menjadi prasyarat penting mengingat prediktabilitas terhadap kenaikan UM menjadi tujuan utama dari penggunaan formula.

 

Terakhir, formula yang terlalu sering berganti-ganti juga tidak akan baik mengingat para pelaku usaha dan pekerja juga mengharapkan kepastian yang dapat menggerakkan produktivitas secara berkelanjutan sekaligus meningkatkan daya saing nasional. Baik dalam jangka menengah maupun dalam jangka panjang. (*)

 

* Penulis Merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

PEMERINTAH melalui menteri ketenagakerjaan pada 16 November lalu telah menandatangani Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum (UM) 2023 lengkap dengan formula penghitungan yang baru. Sesuai permenaker tersebut, upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 direncanakan akan ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat pada 28 November 2022. Dilanjutkan dengan upah minimum tingkat kabupaten/kota (UMK) yang akan diumumkan paling lambat pada 7 Desember 2022. Ditegaskan pula, besaran kenaikan UM tahun 2023 adalah maksimal sebesar 10 persen.

 

Sesuai dengan Permenaker 18/2022, formula penghitungan kenaikan UM tahun 2023 berubah menjadi UM(t+1) = UM(t) + (penyesuaian nilai UM x UM(t)), di mana UM(t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan, sedangkan UM(t) adalah upah minimum tahun berjalan. Penyesuaian nilai UM dimaksudkan adalah penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa). α adalah sebuah indeks dengan rentang 0,10 dan 0,30 yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar peran tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tentu saja nilai α akan semakin besar.

 

Dalam sepuluh tahun terakhir, paling tidak sudah dua kali formula penghitungan UM ini disesuaikan. Pertama adalah PP 78/2015 di mana UM secara otomatis disesuaikan berdasar penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Kemudian PP 36/2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, mempertimbangkan lebih banyak variabel baru, termasuk di dalamnya daya beli masyarakat (konsumsi per kapita), dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja.

 

Seperti yang disampaikan menteri ketenagakerjaan, salah satu kekuatan dari formula penghitungan di PP 36/2021 yang lalu adalah upaya untuk mengurangi disparitas upah antardaerah. Melihat kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi dan lagi harus berhadapan dengan inflasi global memaksa pemerintah untuk meninjau kembali formula yang dimilikinya dan menjadikan Permenaker 18/2022.

 

Pengalaman Berbagai Negara

Baca Juga :  Ironi Dunia Pendidikan Indonesia

Bagaimana dengan pengalaman negara lain terkait formula penghitungan UM? Formula yang digunakan cukup beragam dan cukup banyak pendekatan yang dipakai. Brasil, misalnya, menggunakan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar penghitungan. Sedangkan Kosta Rika, selain inflasi dan pertumbuhan ekonomi, juga memasukkan perhitungan tingkat pengangguran dan nilai tukar. Selanjutnya, Malaysia mempertimbangkan variabel tingkat kemiskinan dan produktivitas kerja (sumber: website ILO).

 

Meskipun demikian, tujuan utama penggunaan formula matematis adalah seragam, yaitu untuk meningkatkan prediktabilitas terhadap kenaikan UM. Sembari tetap memberikan perlindungan bagi pekerja dan menjamin upah minimum sebagai wage floor (jaring pengaman) dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja. Ini juga mengurangi dari keharusan bernegosiasi tentang penyesuaian setiap tahun yang terkadang berbiaya tinggi dan menghilangkan kemungkinan kenaikan upah secara mendadak yang lebih didorong oleh faktor politis ketimbang faktor ekonomi.

 

Variabel yang paling sering diakomodasi sebagai pertimbangan dalam pembuatan formula UM adalah inflasi. Dengan menjaga kenaikan UM selaras dengan inflasi, daya beli riil dari pekerja tetap terjamin. Namun, penggunaan inflasi bukanlah tanpa kelemahan.

 

Pengalaman dari beberapa negara Eropa dan Amerika Latin menunjukkan bahwa masuknya inflasi ke dalam formula penghitungan dapat memicu terjadinya ”inersia inflasi” dalam keadaan tertentu. Artinya, pengakomodasian inflasi ke dalam formula justru dapat berpotensi menularkan inflasi pada masa yang akan datang dan bahkan menjadi penghambat penurunan tingkat inflasi.

 

Oleh karena itu, sebagian besar negara yang menggunakan formula inflasi dalam penentuan UM-nya perlu menyertakan faktor ekonomi lain sebagai penyeimbang. Misalnya pertumbuhan ekonomi atau produktivitas tenaga kerja. Hanya, pertumbuhan ekonomi di banyak kasus cenderung kurang stabil dan sangat berfluktuasi. Ini tentunya juga akan mengurangi kemampuan prediktabilitas dan menyumbangkan ketidakpastian lagi terhadap hasil penghitungan.

 

Bagaimana Formula yang Ideal?

Terlepas dari polemik perdebatan formula yang terbaik dan ideal untuk digunakan, inflasi sepertinya masih menjadi momok utama di tengah terjadinya ketidakpastian global saat ini. Formula dalam Permenaker 18/2022 berusaha mengantisipasi hal tersebut dan bahkan memasukkan inflasi dengan penekanan yang lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi. Hal positif lain adalah pemberian bobot α yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini akan menjadi sebuah insentif bagi daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonominya berpihak terhadap labour-intensive sector yang semakin produktif. Sektor-sektor padat karya tentunya sangat diperlukan dewasa ini mengingat potensi bonus demografi yang belum sepenuhnya termanfaatkan dengan baik.

Baca Juga :  Sales Panci

 

Dengan karakter pasar kerja antardaerah di Indonesia yang sangat bervariasi, tentunya penghitungan dan penetapan UM idealnya harus mengikuti kondisi daerah provinsi atau kabupaten/kota tersebut. Namun, tentu situasinya akan jauh lebih rumit apabila setiap daerah memiliki formula sendiri-sendiri. Apabila tetap menggunakan formula perhitungan nasional seperti sekarang, tentunya tetap diperlukan ruang untuk dialog sosial (collective bargaining) atau untuk mencapai keputusan yang berbeda atas dasar pertimbangan tertentu sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Sehingga penggunaan formula tidaklah bersifat substitusi bagi terjadinya negosiasi tripartit pada situasi-situasi tertentu.

 

Formula yang sederhana tetap perlu dipertahankan mengingat akan lebih mudah dioperasikan dan dikomunikasikan. Beberapa pengalaman negara lain dengan sistem yang lebih kompleks cenderung akan kehilangan keefektifannya dan membutuhkan lebih banyak dukungan kelembagaan. Masalah ketersediaan dan aksesibilitas data oleh publik juga menjadi prasyarat penting mengingat prediktabilitas terhadap kenaikan UM menjadi tujuan utama dari penggunaan formula.

 

Terakhir, formula yang terlalu sering berganti-ganti juga tidak akan baik mengingat para pelaku usaha dan pekerja juga mengharapkan kepastian yang dapat menggerakkan produktivitas secara berkelanjutan sekaligus meningkatkan daya saing nasional. Baik dalam jangka menengah maupun dalam jangka panjang. (*)

 

* Penulis Merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Artikel Terkait

Pangsit Goreng

Acil Joeleha

Sabar Fest

Los Dol

Terpopuler

Artikel Terbaru

/