Senin, April 29, 2024
30.6 C
Palangkaraya

Rawan Konflik, Soroti Penerbitan Dokumen Pertanahan

PALANGKA RAYA-Masih sering terjadinya sengketa tanah di tengah masyarakat diduga disebabkan oleh lemahnya sistem administrasi pada instansi pemerintah yang mengurusi penerbitan dokumen atau surat tanah. Perihal sengketa tanah yang masih marak terjadi juga mendapat sorotan dari kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kalteng, Eldoniel A Mahar.

Menurutnya ada beberapa contoh dokumen yang berpotensi menimbulkan konflik, seperti penerbitan surat keterangan tanah (SKT) di atas bidang tanah yang telah lebih dahulu memiliki dokumen berupa sertifikat maupun SKT. Umumnya SKT asli tapi palsu yang diterbitkan belakangan tersebut ditandatangani oleh RT, RW, kelurahan, dan atau kecamatan setempat. Hal seperti ini sering terjadi di Palangka Raya, sebagaimana kasus tanah di Jalan Hiu Putih VI, Jalan Hiu Putih XIII, Jalan Mahir Mahar, serta kasus terbaru di Jalan Jintan dan Jalan Pramuka.

Baca Juga :  Konflik Tanah di Kalteng Disorot Pemerintah Pusat

“Selain SKT, kita juga masih menemukan penerbitan sertifikat di atas bidang tanah yang sudah bersertifikat, yang mana sertifikat yang terbit belakangan itu dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat, saya tidak tahu apakah ini sengaja dilakukan oleh oknum tertentu ataukah ada kelemahan pada sistem administrasi sehingga mengakibatkan keluar produk berupa dokumen kepemilikan tanah yang dapat menimbulkan konflik dan sengketa di tengah masyarakat,” kata Eldoniel kepada Kalteng Pos, Sabtu (28/1).

Parahnya lagi, lanjut Eldoniel, celah kelemahan ini dimanfaatkan oleh para maling, rampok, dan penjarah tanah untuk menjalankan aksi menyerobot tanah yang bukan haknya dengan mengandalkan dokumen asli tapi palsu tersebut, kemudian menjualnya kepada pihak lain, sehingga menempatkan masyarakat yang tidak memahami duduk persoalan pada posisi saling bersengketa.

Baca Juga :  Kemendagri Heran PAD Sumbangan Pihak Ketiga Masih Nihil

Sudah seharusnya ada political will dan aksi nyata dari pucuk pimpinan instansi yang terkait dengan penerbitan dokumen kepemilikan tanah untuk menertibkan bawahannya, serta mengintensifkan komunikasi dan kerja sama antarinstansi guna menutup celah yang memungkinkan terbitnya surat kepemilikan asli tapi palsu, demi menyelamatkan masyarakat dari potensi konflik tanah yang mengakibatkan pelanggaran hukum perdata. Bahkan pada beberapa kasus, menimbulkan pelanggaran hukum pidana (pertumpahan darah).

“Jika tidak ada ketegasan, konflik atau sengketa tanah di wilayah Kota Palangka Raya ini hampir dapat dipastikan akan terus terjadi,” tutup Eldoniel. (yan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Masih sering terjadinya sengketa tanah di tengah masyarakat diduga disebabkan oleh lemahnya sistem administrasi pada instansi pemerintah yang mengurusi penerbitan dokumen atau surat tanah. Perihal sengketa tanah yang masih marak terjadi juga mendapat sorotan dari kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kalteng, Eldoniel A Mahar.

Menurutnya ada beberapa contoh dokumen yang berpotensi menimbulkan konflik, seperti penerbitan surat keterangan tanah (SKT) di atas bidang tanah yang telah lebih dahulu memiliki dokumen berupa sertifikat maupun SKT. Umumnya SKT asli tapi palsu yang diterbitkan belakangan tersebut ditandatangani oleh RT, RW, kelurahan, dan atau kecamatan setempat. Hal seperti ini sering terjadi di Palangka Raya, sebagaimana kasus tanah di Jalan Hiu Putih VI, Jalan Hiu Putih XIII, Jalan Mahir Mahar, serta kasus terbaru di Jalan Jintan dan Jalan Pramuka.

Baca Juga :  Konflik Tanah di Kalteng Disorot Pemerintah Pusat

“Selain SKT, kita juga masih menemukan penerbitan sertifikat di atas bidang tanah yang sudah bersertifikat, yang mana sertifikat yang terbit belakangan itu dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat, saya tidak tahu apakah ini sengaja dilakukan oleh oknum tertentu ataukah ada kelemahan pada sistem administrasi sehingga mengakibatkan keluar produk berupa dokumen kepemilikan tanah yang dapat menimbulkan konflik dan sengketa di tengah masyarakat,” kata Eldoniel kepada Kalteng Pos, Sabtu (28/1).

Parahnya lagi, lanjut Eldoniel, celah kelemahan ini dimanfaatkan oleh para maling, rampok, dan penjarah tanah untuk menjalankan aksi menyerobot tanah yang bukan haknya dengan mengandalkan dokumen asli tapi palsu tersebut, kemudian menjualnya kepada pihak lain, sehingga menempatkan masyarakat yang tidak memahami duduk persoalan pada posisi saling bersengketa.

Baca Juga :  Kemendagri Heran PAD Sumbangan Pihak Ketiga Masih Nihil

Sudah seharusnya ada political will dan aksi nyata dari pucuk pimpinan instansi yang terkait dengan penerbitan dokumen kepemilikan tanah untuk menertibkan bawahannya, serta mengintensifkan komunikasi dan kerja sama antarinstansi guna menutup celah yang memungkinkan terbitnya surat kepemilikan asli tapi palsu, demi menyelamatkan masyarakat dari potensi konflik tanah yang mengakibatkan pelanggaran hukum perdata. Bahkan pada beberapa kasus, menimbulkan pelanggaran hukum pidana (pertumpahan darah).

“Jika tidak ada ketegasan, konflik atau sengketa tanah di wilayah Kota Palangka Raya ini hampir dapat dipastikan akan terus terjadi,” tutup Eldoniel. (yan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/