Jumat, Mei 3, 2024
27.4 C
Palangkaraya

Mengenal Lebih Dekat Tarminta, Marbut Masjid Jami An-Nur Palangka Raya

Waktu Jadi Sipir Kerjanya Bisa Bergantian, Kalau Sekarang Enggak Bisa

Berkat pengalaman sebagai seorang sipir, sikap tanggung jawab dan disiplin Tarminta jadi terasah dan teruji. Selama 14 tahun menjadi marbut Masjid Jami An-Nur Palangka Raya, bapak tiga anak itu mampu menjalankan amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

*DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

 

SINAR mentari pagi mulai menyapa. Seorang lelaki jangkung berjalan dengan menenteng kunci di tangan sembari mengedarkan pandangannya ke pekarangan masjid. Tarminta, lelaki berusia 70 tahun itu merupakan marbut di Masjid Jami An-Nur.

Beliau merupakan seorang transmigran asal Kediri, Jawa Timur yang merantau ke Palangka Raya tahun 1973 lalu. Awal kedatangannya ke Kota Cantik –julukan Palangka Raya, ia mengaku belum memiliki pekerjaan dan tempat tinggal tetap. “Saya dulu kerja serabutan, jadi kuli, pedagang, apapun itu selama halal, saya lakukan,” katanya saat mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Lelaki kelahiran 1953 silam tersebut kemudian melamar pekerjaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Palangka Raya. Ia diterima bekerja tahun 1979. Gaji awal Rp27 ribu. “Saya bekerja di lapas kurang lebih 30 tahun,” ucapnya.

Setelah tiga dasawarsa bekerja sebagai sipir lapas, tahun 2009 Tarminta pensiun, tepat pada usia 56 tahun. Gaji terakhir yang diterimanya Rp3 juta.

“Setelah pensiun, warga sekitar tempat tinggal langsung menawarkan saya untuk bekerja sebagai marbut di masjid ini,” terangnya.

 

Menurut penuturan Tarminta, ada dua orang marbut di masjid yang terletak di Jalan S Parman itu. Masing-masing memiliki tugas. Satu marbut membersihkan bagian dalam masjid, dan satu marbut lagi membersihkan bagian luar masjid.

Baca Juga :  Ada Pelanggan Tetap, VCD Musik dan Film Kartun Diminati

“Kebetulan marbut yang satunya lagi itu anak saya,” ucap Tarminta sambil terkekeh.

Membersihkan masjid yang terbilang cukup luas itu, kerap membuatnya kewalahan. Lantas ia meminta sang anak untuk membantunya.

Masjid ini berseberangan dengan sekolah. Jadi tiap hari pasti banyak anak sekolahan yang nongkrong di masjid sambil makan. Tak jarang sampah makanan tidak langsung dibersihkan.

Tarminta mengaku selama menjadi marbut, ia tak henti-hentinya memberikan pemahaman kepada anak-anak tersebut untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan masjid. Namun tetap saja ada murid yang tidak perduli dengan apa yang disampaikan.

Inilah yang secara tidak langsung menjadi perbedaan antara pekerjaan lamanya sebagai seorang sipir dan sekarang ini menjadi marbut. Selain soal gaji, sistem kerjanya juga sangat berbeda. “Kalau dulu pas jadi sipir kerjanya gantian, kalau sekarang enggak bisa gantian lagi,” tuturnya.

Meski demikian, ada hikmah tersendiri yang didapatkan ayah tiga anak ini dari pengabdiannya menjadi marbut masjid. Tiap diadakan acara di masjid, ia bisa berkontribusi membantu melancarkan kegiatan. “Rasanya ada kebahagiaan tersendiri dalam hati saya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Di usia yang sudah melewati setengah abad, Tarminta terlihat masih bugar dan memiliki penglihatan yang cukup bagus. “Saya baca pesan di ponsel masih jelas walaupun tanpa bantuan kacamata,” katanya sembari tersenyum.

Baca Juga :  “Dengan Menjadi Seorang Dokter, Saya Bisa Menolong Sesama”

Tak hanya itu, tiap hari ia pulang pergi menemui sang anak yang berbeda rumah dengannya. “Anak saya tinggal di Jalan Tilung, hampir tiap hari saya ke sana,” jelasnya.

Tarminta tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai marbut. Sementara sang anak memiliki usaha laundry di rumah dibantu oleh sang istri, Mukarramah untuk mengelola usaha tersebut.

Tarminta punya keinginan mendedikasikan dirinya bagi masjid hingga tutup usia. “Bekerja sambil beribadah,” ucapnya dengan senyum simpul.

“Kalau mau ngejar uang, saya mungkin sudah berhenti kerja di sini, lalu mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar,” lanjutnya lagi.

Di usia rentanya, yang diinginkannya hanya memperbanyak ibadah kepada Allah Swt agar hidupnya berkah dan dapat bermanfaat bagi orang banyak. “Jika yang dikejar adalah akhirat, maka rezeki bisa datang dari mana saja, bahkan tak terduga,” pungkasnya.

 

Selama masih menjadi sipir, Tarminta aktif mengikuti kegiatan dan membantu Masjid Jami An-Nur. Hal itu dibenarkan Fahmi, salah satu pengurus Masjid Jami An-Nur. “Saya tinggal di sini sudah sangat lama, saya juga cukup mengenal Tarminta, tidak heran kenapa masyarakat sekitar menyuruhnya untuk menjadi marbut di sini,” jelas Fahmi.

Sosok Tarminta yang rajin dan selalu komitmen dengan tanggung jawab, membuatnya disegani banyak orang. “Waktu 14 tahun sudah menjawab bagaimana kinerjanya, apalagi sebelum jadi marbut dia juga merupakan jemaah yang aktif membantu di masjid,” beber Fahmi. (ce/ram)

Berkat pengalaman sebagai seorang sipir, sikap tanggung jawab dan disiplin Tarminta jadi terasah dan teruji. Selama 14 tahun menjadi marbut Masjid Jami An-Nur Palangka Raya, bapak tiga anak itu mampu menjalankan amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

*DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

 

SINAR mentari pagi mulai menyapa. Seorang lelaki jangkung berjalan dengan menenteng kunci di tangan sembari mengedarkan pandangannya ke pekarangan masjid. Tarminta, lelaki berusia 70 tahun itu merupakan marbut di Masjid Jami An-Nur.

Beliau merupakan seorang transmigran asal Kediri, Jawa Timur yang merantau ke Palangka Raya tahun 1973 lalu. Awal kedatangannya ke Kota Cantik –julukan Palangka Raya, ia mengaku belum memiliki pekerjaan dan tempat tinggal tetap. “Saya dulu kerja serabutan, jadi kuli, pedagang, apapun itu selama halal, saya lakukan,” katanya saat mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Lelaki kelahiran 1953 silam tersebut kemudian melamar pekerjaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Palangka Raya. Ia diterima bekerja tahun 1979. Gaji awal Rp27 ribu. “Saya bekerja di lapas kurang lebih 30 tahun,” ucapnya.

Setelah tiga dasawarsa bekerja sebagai sipir lapas, tahun 2009 Tarminta pensiun, tepat pada usia 56 tahun. Gaji terakhir yang diterimanya Rp3 juta.

“Setelah pensiun, warga sekitar tempat tinggal langsung menawarkan saya untuk bekerja sebagai marbut di masjid ini,” terangnya.

 

Menurut penuturan Tarminta, ada dua orang marbut di masjid yang terletak di Jalan S Parman itu. Masing-masing memiliki tugas. Satu marbut membersihkan bagian dalam masjid, dan satu marbut lagi membersihkan bagian luar masjid.

Baca Juga :  Ada Pelanggan Tetap, VCD Musik dan Film Kartun Diminati

“Kebetulan marbut yang satunya lagi itu anak saya,” ucap Tarminta sambil terkekeh.

Membersihkan masjid yang terbilang cukup luas itu, kerap membuatnya kewalahan. Lantas ia meminta sang anak untuk membantunya.

Masjid ini berseberangan dengan sekolah. Jadi tiap hari pasti banyak anak sekolahan yang nongkrong di masjid sambil makan. Tak jarang sampah makanan tidak langsung dibersihkan.

Tarminta mengaku selama menjadi marbut, ia tak henti-hentinya memberikan pemahaman kepada anak-anak tersebut untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan masjid. Namun tetap saja ada murid yang tidak perduli dengan apa yang disampaikan.

Inilah yang secara tidak langsung menjadi perbedaan antara pekerjaan lamanya sebagai seorang sipir dan sekarang ini menjadi marbut. Selain soal gaji, sistem kerjanya juga sangat berbeda. “Kalau dulu pas jadi sipir kerjanya gantian, kalau sekarang enggak bisa gantian lagi,” tuturnya.

Meski demikian, ada hikmah tersendiri yang didapatkan ayah tiga anak ini dari pengabdiannya menjadi marbut masjid. Tiap diadakan acara di masjid, ia bisa berkontribusi membantu melancarkan kegiatan. “Rasanya ada kebahagiaan tersendiri dalam hati saya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Di usia yang sudah melewati setengah abad, Tarminta terlihat masih bugar dan memiliki penglihatan yang cukup bagus. “Saya baca pesan di ponsel masih jelas walaupun tanpa bantuan kacamata,” katanya sembari tersenyum.

Baca Juga :  “Dengan Menjadi Seorang Dokter, Saya Bisa Menolong Sesama”

Tak hanya itu, tiap hari ia pulang pergi menemui sang anak yang berbeda rumah dengannya. “Anak saya tinggal di Jalan Tilung, hampir tiap hari saya ke sana,” jelasnya.

Tarminta tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai marbut. Sementara sang anak memiliki usaha laundry di rumah dibantu oleh sang istri, Mukarramah untuk mengelola usaha tersebut.

Tarminta punya keinginan mendedikasikan dirinya bagi masjid hingga tutup usia. “Bekerja sambil beribadah,” ucapnya dengan senyum simpul.

“Kalau mau ngejar uang, saya mungkin sudah berhenti kerja di sini, lalu mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar,” lanjutnya lagi.

Di usia rentanya, yang diinginkannya hanya memperbanyak ibadah kepada Allah Swt agar hidupnya berkah dan dapat bermanfaat bagi orang banyak. “Jika yang dikejar adalah akhirat, maka rezeki bisa datang dari mana saja, bahkan tak terduga,” pungkasnya.

 

Selama masih menjadi sipir, Tarminta aktif mengikuti kegiatan dan membantu Masjid Jami An-Nur. Hal itu dibenarkan Fahmi, salah satu pengurus Masjid Jami An-Nur. “Saya tinggal di sini sudah sangat lama, saya juga cukup mengenal Tarminta, tidak heran kenapa masyarakat sekitar menyuruhnya untuk menjadi marbut di sini,” jelas Fahmi.

Sosok Tarminta yang rajin dan selalu komitmen dengan tanggung jawab, membuatnya disegani banyak orang. “Waktu 14 tahun sudah menjawab bagaimana kinerjanya, apalagi sebelum jadi marbut dia juga merupakan jemaah yang aktif membantu di masjid,” beber Fahmi. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/