Rabu, Mei 15, 2024
24 C
Palangkaraya

Dua Kursi

Oleh; Agus Pramono

TAK ada kecap nomor dua. Semua mengklaim kecap nomor satu. Janjinya juga sama, manis. Sebagai konsumen tak ada yang salah. Memang rasanya manis. Tapi, sebagai penggila kecap, pasti ada yang beda setiap merk-nya. Saya sendiri tak bisa membedakan, takaran manis seperti apa yang ada pada kecap.

Larutan pun demikian. Ada dua. Cap kaki tiga juga cap badak. Rasanya sama. Saya yakin, secara umum, kita tak bisa membedakan rasa antara keduanya. Dulunya, produk minuman pereda panas dibuat dari tangan orang yang sama. Sebelum ada dualisme di tubuh perusahaan. Konflik merk dagang itu kini sudah reda.

Ngomong-ngomong soal dualisme, saya jadi ingat karang taruna. Organisasi yang dihuni para pemuda itu masih berprahara. Ada dua kursi kepemimpinan. Satu kursi milik Edy Rustian, kursi satunya lagi Chandra Ardinata.

Baca Juga :  Pragmatisme Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat

Berbulan-bulan bertahan. Sama-sama tak mau beranjak. Kursi yang mereka duduki ditopang kaki-kaki ambisi. Saya bertanya-tanya, buat apa mereka merawat dualisme itu? Apakah berebut dana hibah? Saya rasa tidak. Saya cari-cari referensi, tidak ada dana pemerintah mengalir ke karang taruna lima tahun terakhir.

Kedua pemuda tidak mencerminkan unsur-unsur yang ada pada lambang karang taruna. Jangan-jangan memang tidak tahu. Kebetulan, saya mau sebut makna secara sekilas. Pertama, sekuntum bunga teratai yang mulai mekar. Melambangkan generasi muda yang dijiwai semangat kemasyarakatan. Lalu, ada empat helai daun bunga di bagian bawah. Memiliki arti memupuk kreativitas, mengembangkan dan mewujudkan harapan anak dan remaja.

Unsur lainnya, tujuh helai daun bunga bagian atas. Melambangkan tujuh unsur kepribadian yang harus dimiliki pemuda. Yakni, taat, tanggap, ranggon, tandas, tangkas, terampil, dan tulus. Karang taruna secara umum dilambangkan sebagai generasi muda yang kuat, kokoh, dan tegar dalam pendirian, dan keluhuran budi pekerti.

Baca Juga :  Untuk Memberikan Gambaran Realisasi Target

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Farid Zaky Yopiannor menyebut ada nuansa perebutan momentum. Tiga bulan lagi, pemilu digelar. Ceruk suara dari Karang Taruna Kalteng begitu berharga. Anggotanya menyeruak sampai ke pelosok desa.

Saya setuju dengan pernyataan di atas. Satu kepala bisa mencari seribu suara, misalnya. Hanya modal larutan pereda kantong kering. Ingat, pereda. Bukan obat. Jadi, nikmatnya hanya sesaat. Tidak jangka panjang.

Farid juga memberikan saran. Keduanya duduk bersanding. Begitu juga pihak-pihak terkait turut menyaksikan dan mendukung mengakhiri perseteruan. Pernyataan itu saya kurang setuju. Saya juga ragu kedua pemuda itu mau duduk bersanding. Setahu saya mereka normal.(*)

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos.

Oleh; Agus Pramono

TAK ada kecap nomor dua. Semua mengklaim kecap nomor satu. Janjinya juga sama, manis. Sebagai konsumen tak ada yang salah. Memang rasanya manis. Tapi, sebagai penggila kecap, pasti ada yang beda setiap merk-nya. Saya sendiri tak bisa membedakan, takaran manis seperti apa yang ada pada kecap.

Larutan pun demikian. Ada dua. Cap kaki tiga juga cap badak. Rasanya sama. Saya yakin, secara umum, kita tak bisa membedakan rasa antara keduanya. Dulunya, produk minuman pereda panas dibuat dari tangan orang yang sama. Sebelum ada dualisme di tubuh perusahaan. Konflik merk dagang itu kini sudah reda.

Ngomong-ngomong soal dualisme, saya jadi ingat karang taruna. Organisasi yang dihuni para pemuda itu masih berprahara. Ada dua kursi kepemimpinan. Satu kursi milik Edy Rustian, kursi satunya lagi Chandra Ardinata.

Baca Juga :  Pragmatisme Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat

Berbulan-bulan bertahan. Sama-sama tak mau beranjak. Kursi yang mereka duduki ditopang kaki-kaki ambisi. Saya bertanya-tanya, buat apa mereka merawat dualisme itu? Apakah berebut dana hibah? Saya rasa tidak. Saya cari-cari referensi, tidak ada dana pemerintah mengalir ke karang taruna lima tahun terakhir.

Kedua pemuda tidak mencerminkan unsur-unsur yang ada pada lambang karang taruna. Jangan-jangan memang tidak tahu. Kebetulan, saya mau sebut makna secara sekilas. Pertama, sekuntum bunga teratai yang mulai mekar. Melambangkan generasi muda yang dijiwai semangat kemasyarakatan. Lalu, ada empat helai daun bunga di bagian bawah. Memiliki arti memupuk kreativitas, mengembangkan dan mewujudkan harapan anak dan remaja.

Unsur lainnya, tujuh helai daun bunga bagian atas. Melambangkan tujuh unsur kepribadian yang harus dimiliki pemuda. Yakni, taat, tanggap, ranggon, tandas, tangkas, terampil, dan tulus. Karang taruna secara umum dilambangkan sebagai generasi muda yang kuat, kokoh, dan tegar dalam pendirian, dan keluhuran budi pekerti.

Baca Juga :  Untuk Memberikan Gambaran Realisasi Target

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Farid Zaky Yopiannor menyebut ada nuansa perebutan momentum. Tiga bulan lagi, pemilu digelar. Ceruk suara dari Karang Taruna Kalteng begitu berharga. Anggotanya menyeruak sampai ke pelosok desa.

Saya setuju dengan pernyataan di atas. Satu kepala bisa mencari seribu suara, misalnya. Hanya modal larutan pereda kantong kering. Ingat, pereda. Bukan obat. Jadi, nikmatnya hanya sesaat. Tidak jangka panjang.

Farid juga memberikan saran. Keduanya duduk bersanding. Begitu juga pihak-pihak terkait turut menyaksikan dan mendukung mengakhiri perseteruan. Pernyataan itu saya kurang setuju. Saya juga ragu kedua pemuda itu mau duduk bersanding. Setahu saya mereka normal.(*)

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos.

Artikel Terkait

Sabar Fest

Los Dol

Saleh Mudik?

Terpopuler

Artikel Terbaru

/