Kamis, Mei 2, 2024
24.1 C
Palangkaraya

Kisah Lulu Syahbania Ahmad, Penghafal 30 Juz Al-Qur’an yang Penuh Inspirasi (2)

Hafalan Jadi Kado Terindah untuk Orang Tua Dunia dan Akhirat

Penghafal 30 juz Al-Qur’an berikutnya datang dari Kabupaten Seruyan. Dia adalah Lulu Syahbania Ahmad. Gadis 21 tahun itu mulai menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an sejak duduk di bangku kelas VI sekolah dasar (SD), lalu dituntaskan saat menuntut ilmu agama di pondok pesantren.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

LULU Syahbania Ahmad merupakan mahasiswa semester enam dari salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Rutinitas saat ini tidak jauh dari mahasiswa pada umumnya. Akan tetapi dalam beberapa waktu terakhir, wanita berusia 21 tahun itu tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan kuliah kerja nyata (KKN), di samping menghafal Al‐Qur’an tiap hari.

Perempuan yang kerap disapa Lulu itu merupakan seorang penghafal Al‐Qur’an. Dia mulai menghafal sejak duduk di bangku kelas VI SD. Orang tua sangat mendukungnya. Bahkan belum tamat SD, ia telah dikirim ke Pesantren Darul Quran milik Yusuf Mansur. Namun karena belum memiliki kemantapan hati untuk masuk pesantren, Lulu memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya di Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kemudian orang tuanya memasukkannya ke pesantren lain, Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an Al Musyarofah Wakhid, Tangerang. Di tempat itu, Lulu berusaha menyelesaikan hafalannya.

“Awalnya enggak betah, namanya juga masih anak kelas 6 SD, umur segitu belum paham arti dan tujuan menghafal Al-Qur’an, jadi enggak lama setelah keluar dari Podok Darul Quran, saya balik ke Seruyan, tetapi kemudian saya dimasukin lagi ke pondok lain milik salah satu ustaz yang pernah ngajarin saya pas di Darul Quran, kebetulan beliau buka juga di rumahnya, dan dari situ akhirnya saya bertekad untuk menyelesaikan hafalan saya,” ungkap Lulu saat berbincang dengan Kalteng Pos, Minggu (3/3).

Baca Juga :  Fairid: Tak Hanya Tanam tapi Harus Ada Gerakan Panen Bersama

Lama berselang, perempuan kelahiran Ngawi, Jawa Timur itu akhirnya menemukan makna dan tujuan dari hafalannya. Lulu mengatakan, memberikan hadiah kepada orang tuanya hanya dengan barang fisik merupakan hadiah yang biasa dan standar. Namun mempersembahkan sebuah hafalan merupakan kado terindah, yang tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Bila di dunia orang tuanya akan dikenal sebagai orang tua yang berhasil mendidik serta menjadi kebanggaan keluarga, karena memiliki anak seorang hafis Al‐Qur’an, maka Lulu juga meyakini di akhirat nanti orang tuanya akan mendapat pahala dari Allah Swt karena berhasil mendidik seorang anak menjadi penghafal Al-Qur’an.

“Seiring berjalannya waktu, saya jadi paham keutamaan dalam menghafal, apa yang akan kita dapatkan kalau kita menghafal Al‐Qur’an, saya ingin memberikan kado buat orang tua, kalau cuman kasih benda fisik, itu sudah biasa, tapi kalau dengan menjadi penghafal, kan orang akan memandang orang tua saya kan sebagai orang tua yang berhasil, apalagi kalau saya bisa menang dalam lomba atau tampil di acara besar, kan ada kebanggaan tersendiri, kalau di akhirat kan insyaallah orang tua juga mendapat pahala atau kebaikan dengan saya menjadi penghafal, itu sih yang membuat saya termotivasi,” jelasnya.

Menghafal Al‐Qur’an hingga selesai bukanlah perkara mudah. Perempuan yang berulang tahun tiap tanggal 26 Oktober itu pun kerap merasakan malas saat menghafal. Namun di kala rasa itu muncul, ia mencoba untuk membangkitkan semangat. Baginya, faktor lingkungan juga memengaruhi. Sering berada di tengah para penghafal, menjadikan terus termotivasi untuk segera menyelesaikan hafalan, dan segera mengulang lagi hafalan untuk memperkuat tiap ayat yang telah dihafalkan.

Baca Juga :  Mengenalkan Karamunting, Daun yang Membantu Menyembuhkan Diare

Berada jauh dari keluarga dan tidak pernah dijenguk, Lulu selalu menjadikan hafalan sebagai penghibur kesendirian dan sedihan. Di kala santri lain dijenguk dan dikunjungi orang tua, menghafal Al‐Qur’an menjadi teman dan penghibur rasa rindu yang terpendam. Akhirnya Lulu berhasil menyelesaikan hafalannya di bangku kelas IX sekolah menengah pertama (SMP).

“Minimal sehari itu harus hafal satu lembar atau satu halaman, jangan sampai ada hari tanpa menghafal, apalagi enggak baca Al‐Qur’an, kalau di pondok kan banyak santri yang dijenguk keluarga, saya enggak pernah, karena memang jarak tempuh lumayan jauh, jadi biar saya enggak sedih, saya sibukkan diri dengan hafalan untuk mengobati rasa sedih itu,” ungkapnya.

Anak kedua dari tiga bersaudara itu baru pertama kali mengikuti lomba menghafal 30 juz. Sebelumnya, putri dari pasangan Suwoto dan Eni Sukarsih itu hanya mengikuti lomba hafal 3 hingga 5 juz. Sehingga saat mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 tahun 2023 kategori hafal 30 juz tingkat Provinsi Kalteng, Lulu sempat gugup. Meski dilanda perasaan grogi, tetapi akhirnya ia berhasil mengharumkan nama Kabupaten Seruyan, dengan menempati posisi harapan satu.

“Ikut lomba hafal 30 juz kemarin itu sejujurnya baru pertama kali, jadi pas ikut lomba dan mau ngejawab agak gugup dan grogi, saya sedikit terbatah‐batah dalam menjawab, tapi alhamdulillah masih bisa dapat juara walaupun hanya harapan satu, mungkin lain kesempatan saya bisa coba lagi untuk mendapatkan prestasi lebih baik,” tutupnya. (*/bersambung/ce/ala)

Penghafal 30 juz Al-Qur’an berikutnya datang dari Kabupaten Seruyan. Dia adalah Lulu Syahbania Ahmad. Gadis 21 tahun itu mulai menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an sejak duduk di bangku kelas VI sekolah dasar (SD), lalu dituntaskan saat menuntut ilmu agama di pondok pesantren.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

LULU Syahbania Ahmad merupakan mahasiswa semester enam dari salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Rutinitas saat ini tidak jauh dari mahasiswa pada umumnya. Akan tetapi dalam beberapa waktu terakhir, wanita berusia 21 tahun itu tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan kuliah kerja nyata (KKN), di samping menghafal Al‐Qur’an tiap hari.

Perempuan yang kerap disapa Lulu itu merupakan seorang penghafal Al‐Qur’an. Dia mulai menghafal sejak duduk di bangku kelas VI SD. Orang tua sangat mendukungnya. Bahkan belum tamat SD, ia telah dikirim ke Pesantren Darul Quran milik Yusuf Mansur. Namun karena belum memiliki kemantapan hati untuk masuk pesantren, Lulu memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya di Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kemudian orang tuanya memasukkannya ke pesantren lain, Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an Al Musyarofah Wakhid, Tangerang. Di tempat itu, Lulu berusaha menyelesaikan hafalannya.

“Awalnya enggak betah, namanya juga masih anak kelas 6 SD, umur segitu belum paham arti dan tujuan menghafal Al-Qur’an, jadi enggak lama setelah keluar dari Podok Darul Quran, saya balik ke Seruyan, tetapi kemudian saya dimasukin lagi ke pondok lain milik salah satu ustaz yang pernah ngajarin saya pas di Darul Quran, kebetulan beliau buka juga di rumahnya, dan dari situ akhirnya saya bertekad untuk menyelesaikan hafalan saya,” ungkap Lulu saat berbincang dengan Kalteng Pos, Minggu (3/3).

Baca Juga :  Fairid: Tak Hanya Tanam tapi Harus Ada Gerakan Panen Bersama

Lama berselang, perempuan kelahiran Ngawi, Jawa Timur itu akhirnya menemukan makna dan tujuan dari hafalannya. Lulu mengatakan, memberikan hadiah kepada orang tuanya hanya dengan barang fisik merupakan hadiah yang biasa dan standar. Namun mempersembahkan sebuah hafalan merupakan kado terindah, yang tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Bila di dunia orang tuanya akan dikenal sebagai orang tua yang berhasil mendidik serta menjadi kebanggaan keluarga, karena memiliki anak seorang hafis Al‐Qur’an, maka Lulu juga meyakini di akhirat nanti orang tuanya akan mendapat pahala dari Allah Swt karena berhasil mendidik seorang anak menjadi penghafal Al-Qur’an.

“Seiring berjalannya waktu, saya jadi paham keutamaan dalam menghafal, apa yang akan kita dapatkan kalau kita menghafal Al‐Qur’an, saya ingin memberikan kado buat orang tua, kalau cuman kasih benda fisik, itu sudah biasa, tapi kalau dengan menjadi penghafal, kan orang akan memandang orang tua saya kan sebagai orang tua yang berhasil, apalagi kalau saya bisa menang dalam lomba atau tampil di acara besar, kan ada kebanggaan tersendiri, kalau di akhirat kan insyaallah orang tua juga mendapat pahala atau kebaikan dengan saya menjadi penghafal, itu sih yang membuat saya termotivasi,” jelasnya.

Menghafal Al‐Qur’an hingga selesai bukanlah perkara mudah. Perempuan yang berulang tahun tiap tanggal 26 Oktober itu pun kerap merasakan malas saat menghafal. Namun di kala rasa itu muncul, ia mencoba untuk membangkitkan semangat. Baginya, faktor lingkungan juga memengaruhi. Sering berada di tengah para penghafal, menjadikan terus termotivasi untuk segera menyelesaikan hafalan, dan segera mengulang lagi hafalan untuk memperkuat tiap ayat yang telah dihafalkan.

Baca Juga :  Mengenalkan Karamunting, Daun yang Membantu Menyembuhkan Diare

Berada jauh dari keluarga dan tidak pernah dijenguk, Lulu selalu menjadikan hafalan sebagai penghibur kesendirian dan sedihan. Di kala santri lain dijenguk dan dikunjungi orang tua, menghafal Al‐Qur’an menjadi teman dan penghibur rasa rindu yang terpendam. Akhirnya Lulu berhasil menyelesaikan hafalannya di bangku kelas IX sekolah menengah pertama (SMP).

“Minimal sehari itu harus hafal satu lembar atau satu halaman, jangan sampai ada hari tanpa menghafal, apalagi enggak baca Al‐Qur’an, kalau di pondok kan banyak santri yang dijenguk keluarga, saya enggak pernah, karena memang jarak tempuh lumayan jauh, jadi biar saya enggak sedih, saya sibukkan diri dengan hafalan untuk mengobati rasa sedih itu,” ungkapnya.

Anak kedua dari tiga bersaudara itu baru pertama kali mengikuti lomba menghafal 30 juz. Sebelumnya, putri dari pasangan Suwoto dan Eni Sukarsih itu hanya mengikuti lomba hafal 3 hingga 5 juz. Sehingga saat mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-31 tahun 2023 kategori hafal 30 juz tingkat Provinsi Kalteng, Lulu sempat gugup. Meski dilanda perasaan grogi, tetapi akhirnya ia berhasil mengharumkan nama Kabupaten Seruyan, dengan menempati posisi harapan satu.

“Ikut lomba hafal 30 juz kemarin itu sejujurnya baru pertama kali, jadi pas ikut lomba dan mau ngejawab agak gugup dan grogi, saya sedikit terbatah‐batah dalam menjawab, tapi alhamdulillah masih bisa dapat juara walaupun hanya harapan satu, mungkin lain kesempatan saya bisa coba lagi untuk mendapatkan prestasi lebih baik,” tutupnya. (*/bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/