Kamis, Mei 2, 2024
31.4 C
Palangkaraya

Kisah Ummi Latifatun Nadziroh, Penghafal 30 Juz Al-Qur’an yang Penuh Inspirasi (3)

Termotivasi oleh Orang Tua, Tiap Hari Setor Satu Halaman Hafalan

Hafiz Al-Qur’an berikutnya adalah Ummi Latifatun Nadziroh. Gadis 20 tahun itu mulai menghafal ayat suci sejak kecil. Orang tua menjadi motivatornya sehingga bisa menghafalkan 30 juz Al-Qur’an.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

SEJAK belia, gadis yang kerap disapa Ummi itu sudah dibiasakan dengan mengenal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ummi mengaku mulai menghafal ayat suci Al-Qur’an pertama kalinya saat berusia 4 tahun.

“Pertama kali hafal itu di usia 4 tahun yang dimulai dari juz 30. Lalu setelahnya dilanjutkan dengan surah-surah pilihan seperti surah Yasin, Al-Waqiah, Al-Mulk, dan yang lainnya. Setelah hafal surah-surah tersebut, barulah berlanjut ke juz 1,” ungkapnya pada Kalteng Pos, Jumat (1/3).

Didikan sejak dini yang melibatkan Al-Qur’an dalam kesehariannya membuat Ummi terbiasa. Tiada hari tanpa menghafal Al-Qur’an.

“Mamah itu guru ngaji dan juga seorang ustazah di salah satu pondok pesantren, kebetulan beliau juga penghafal Al-Quran, jadi motivasi terbesar datang dari beliau,” ucapnya.

Gadis dengan nama lengkap Ummi Latifatun Nadziroh itu sejak bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dibiasakan dengan belajar pagi. Pada siang hari sepulang sekolah langsung menghafal, dilanjutkan dengan setoran. Boleh beristirahat setelah selesai. Begitu pula dengan malam harinya. Ia akan murajaah terlebih dahulu. Setelah kelar, barulah belajar untuk persiapan sekolah besok. “Jadi manajemen waktu sudah tertata sejak kecil, sehingga terbiasa,” lanjutnya.

Ummi tidak pernah keberatan dengan rutinitas dan tatanan waktu yang telah diatur demikian. Karena baginya, secara tidak langsung mengajarkan kepadanya skala prioritas. Bagaimana ia dapat membagi waktu antara sekolah, menghafal Al-Quran, mengaji, belajar, dan kegiatan lain.

Baca Juga :  Dihadiri Ribuan Jemaah, Bisa Diteladani Kiprahnya di Kalteng

Putri dari pasangan Ishomuddin Iswani dan Siti Miftahul Chasanah itu, saat menyelesaikan jenjang pendidikan Madrasah Ibtidaiyahnya (MI), telah memiliki hafalan sebanyak 7 juz.

“Setelah lulus MI saya melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren Hidayatul Insan, jadi melanjutkan hafalan sisanya saat pendidikan di pondok,” katanya. Selama di pesantren, Ummi selalu melakukan setoran hafalan bersama ustazah di pondok tersebut.

“Prinsif saya dalam menghafal Al-Quran, tidak perlu banyak-banyak menyetorkan hafalan, dalam sehari cukup satu halaman, yang penting murajaahnya tetap jalan. Biarkan kalau orang lain cepat selesai, tapi bagi saya tidak masalah, walau selesainya agak sedikit terlambat dari yang lain, yang penting murajaahnya tetap jalan dan hafalan yang sudah dihafalkan tidak hilang alias terus diingat,” jelasnya.

Ia mengkhatamkan hafalan 30 juz saat masih berada di Pondok Pesantren Hidayatul Insan. “Kelas 1 MA (Madrasah Aliyah), ahalhamdulillah sudah khatam hafalan 30 juz,” ujarnya. Setelah itu ia hanya melakukan setoran ulang untuk mengingat kembali hafalan.

Anak pertama dari tiga bersaudara itu juga menceritakan pengalaman yang dialaminya saat masih berada di pondok pesantren. “Di pondok tidak ada tuntutan atau target hafalan harus berapa juz, kembali ke diri masing masing. Walaupun di sana ada ustazahnya, tetap pintar-pintar diri sendiri untuk mengatur waktu menghafal dan murajaah,” ungkapnya.

Menurut gadis kelahiran 2003 itu, ia memiliki jam khusus untuk menghafal. “Saya lebih nyaman menghafal pada pagi hari dan untuk sekali setoran itu biasanya satu halaman,” tuturnya. Bagi Ummi, pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk menghafal karena pikiran masih fresh, sehingga lebih fokus.

Baca Juga :  Mudik Nataru, Ini Syarat yang Perlu Diperhatikan Pelaku Perjalanan Udara

Ia juga mengaku, selama menghafal Al-Quran, kesulitan yang dihadapinya adalah jika dalam satu halaman, ayatnya cenderung didominasi oleh ayat pendek. “Kalau ayatnya pendek dan banyak mirip-mirip, itu agak sedikit susah, jadi saya lebih suka ayat yang panjang, karena lebih mudah untuk dihafal,” ujarnya.

Mahasiswa yang saat ini berkuliah di IAIN Palangka Raya itu menyampaikan ada banyak lomba yang telah diikutinya sejauh ini. “Ada banyak, tapi menurut saya yang paling berkesan adalah MTQ yang diselenggarakan di Kotawaringin Barat kemarin, karena itu pertama kalinya saya mengikuti lomba kategori 30 juz,” ungkapnya.

Perlombaan yang diikuti Ummi selama ini bertahap. Dimulai dari kategori 10 juz, 20 juz, hingga 30 juz. Sekalipun kini ia telah mengkhatamkan hafalannya, tetapi tidak serta merta membuatnya santai. Karena ada hafalan yang harus ia pertahankan. Karena itu, tiap hari ia masih terus melakukan murajaah agar tidak lupa terhadap hafalan.

“Harapan saya ke depan, semoga masih dapat tetap fokus di sini, tetap di jalannya Allah. Karena saat ini tidak sedikit orang yang mudah tergoda dengan yang namanya maksiat. Semoga kita masih bisa menjaga diri dan menjaga iman kita,” tandasnya. (*bersambung/ce/ala)

Hafiz Al-Qur’an berikutnya adalah Ummi Latifatun Nadziroh. Gadis 20 tahun itu mulai menghafal ayat suci sejak kecil. Orang tua menjadi motivatornya sehingga bisa menghafalkan 30 juz Al-Qur’an.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

SEJAK belia, gadis yang kerap disapa Ummi itu sudah dibiasakan dengan mengenal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ummi mengaku mulai menghafal ayat suci Al-Qur’an pertama kalinya saat berusia 4 tahun.

“Pertama kali hafal itu di usia 4 tahun yang dimulai dari juz 30. Lalu setelahnya dilanjutkan dengan surah-surah pilihan seperti surah Yasin, Al-Waqiah, Al-Mulk, dan yang lainnya. Setelah hafal surah-surah tersebut, barulah berlanjut ke juz 1,” ungkapnya pada Kalteng Pos, Jumat (1/3).

Didikan sejak dini yang melibatkan Al-Qur’an dalam kesehariannya membuat Ummi terbiasa. Tiada hari tanpa menghafal Al-Qur’an.

“Mamah itu guru ngaji dan juga seorang ustazah di salah satu pondok pesantren, kebetulan beliau juga penghafal Al-Quran, jadi motivasi terbesar datang dari beliau,” ucapnya.

Gadis dengan nama lengkap Ummi Latifatun Nadziroh itu sejak bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dibiasakan dengan belajar pagi. Pada siang hari sepulang sekolah langsung menghafal, dilanjutkan dengan setoran. Boleh beristirahat setelah selesai. Begitu pula dengan malam harinya. Ia akan murajaah terlebih dahulu. Setelah kelar, barulah belajar untuk persiapan sekolah besok. “Jadi manajemen waktu sudah tertata sejak kecil, sehingga terbiasa,” lanjutnya.

Ummi tidak pernah keberatan dengan rutinitas dan tatanan waktu yang telah diatur demikian. Karena baginya, secara tidak langsung mengajarkan kepadanya skala prioritas. Bagaimana ia dapat membagi waktu antara sekolah, menghafal Al-Quran, mengaji, belajar, dan kegiatan lain.

Baca Juga :  Dihadiri Ribuan Jemaah, Bisa Diteladani Kiprahnya di Kalteng

Putri dari pasangan Ishomuddin Iswani dan Siti Miftahul Chasanah itu, saat menyelesaikan jenjang pendidikan Madrasah Ibtidaiyahnya (MI), telah memiliki hafalan sebanyak 7 juz.

“Setelah lulus MI saya melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren Hidayatul Insan, jadi melanjutkan hafalan sisanya saat pendidikan di pondok,” katanya. Selama di pesantren, Ummi selalu melakukan setoran hafalan bersama ustazah di pondok tersebut.

“Prinsif saya dalam menghafal Al-Quran, tidak perlu banyak-banyak menyetorkan hafalan, dalam sehari cukup satu halaman, yang penting murajaahnya tetap jalan. Biarkan kalau orang lain cepat selesai, tapi bagi saya tidak masalah, walau selesainya agak sedikit terlambat dari yang lain, yang penting murajaahnya tetap jalan dan hafalan yang sudah dihafalkan tidak hilang alias terus diingat,” jelasnya.

Ia mengkhatamkan hafalan 30 juz saat masih berada di Pondok Pesantren Hidayatul Insan. “Kelas 1 MA (Madrasah Aliyah), ahalhamdulillah sudah khatam hafalan 30 juz,” ujarnya. Setelah itu ia hanya melakukan setoran ulang untuk mengingat kembali hafalan.

Anak pertama dari tiga bersaudara itu juga menceritakan pengalaman yang dialaminya saat masih berada di pondok pesantren. “Di pondok tidak ada tuntutan atau target hafalan harus berapa juz, kembali ke diri masing masing. Walaupun di sana ada ustazahnya, tetap pintar-pintar diri sendiri untuk mengatur waktu menghafal dan murajaah,” ungkapnya.

Menurut gadis kelahiran 2003 itu, ia memiliki jam khusus untuk menghafal. “Saya lebih nyaman menghafal pada pagi hari dan untuk sekali setoran itu biasanya satu halaman,” tuturnya. Bagi Ummi, pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk menghafal karena pikiran masih fresh, sehingga lebih fokus.

Baca Juga :  Mudik Nataru, Ini Syarat yang Perlu Diperhatikan Pelaku Perjalanan Udara

Ia juga mengaku, selama menghafal Al-Quran, kesulitan yang dihadapinya adalah jika dalam satu halaman, ayatnya cenderung didominasi oleh ayat pendek. “Kalau ayatnya pendek dan banyak mirip-mirip, itu agak sedikit susah, jadi saya lebih suka ayat yang panjang, karena lebih mudah untuk dihafal,” ujarnya.

Mahasiswa yang saat ini berkuliah di IAIN Palangka Raya itu menyampaikan ada banyak lomba yang telah diikutinya sejauh ini. “Ada banyak, tapi menurut saya yang paling berkesan adalah MTQ yang diselenggarakan di Kotawaringin Barat kemarin, karena itu pertama kalinya saya mengikuti lomba kategori 30 juz,” ungkapnya.

Perlombaan yang diikuti Ummi selama ini bertahap. Dimulai dari kategori 10 juz, 20 juz, hingga 30 juz. Sekalipun kini ia telah mengkhatamkan hafalannya, tetapi tidak serta merta membuatnya santai. Karena ada hafalan yang harus ia pertahankan. Karena itu, tiap hari ia masih terus melakukan murajaah agar tidak lupa terhadap hafalan.

“Harapan saya ke depan, semoga masih dapat tetap fokus di sini, tetap di jalannya Allah. Karena saat ini tidak sedikit orang yang mudah tergoda dengan yang namanya maksiat. Semoga kita masih bisa menjaga diri dan menjaga iman kita,” tandasnya. (*bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/