Minggu, April 28, 2024
29.5 C
Palangkaraya

Masa Jabatan Terpangkas, UU Pilkada Digugat ke MK

PALANGKA RAYA-Dampak dari pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 menyebabkan masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada tahun 2020 tidak genap lima tahun. Sejumlah kepala daerah di Indonesia akhirnya mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejauh ini ada 11 kepala daerah yang mengajukan gugatan, didominasi gubernur, bupati dan wali kota dari Pulau Sumatera dan Sulawesi.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), tercatat dua kepala daerah yang masa jabatannya belum sampai lima tahun pada tahun 2024. Mereka adalah Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran dan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) H Halikinnor.

Bupati Kotim H Halikinnor mengatakan, dirinya bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) berencana mengajukan gugatan ke MK. “Saya bersama Apkasi sepakat akan menggugat ke MK agar periode kepala daerah daerah angkatan terakhir tetap sesuai undang-undang yaitu 5 tahun,” kata Halikin, Minggu (28/1).

Dirinya mengatakan beberapa waktu lalu telah mengadakan rapat koordinasi terkait rencana gugatan terhadap MK. Apkasi pun tengah mematangkan materi gugatan tentang masa jabatan kepala daerah hasil pilkada 2020 ke MK, di dalamnya menekankan agar MK mengikuti aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Pilkada, bahwa tiap kepala daerah memiliki masa jabatan 5 tahun.

Menurutnya lebih dari 50 persen kepala daerah di Indonesia berpotensi mengalami pengurangan masa jabatan sehubungan dengan digelarnya pilkada serentak 2024, karena jumlahnya sangat besar, ada 9 gubernur, 31 wali kota, dan 217 bupati.

“Kita telah sepakat dengan asosiasi gubernur dan wali kota untuk bersama-sama mengajukan gugatan ke MK, karena sesuai aturan dalam undang-undang, masa jabatan mereka sampai 2026, tetapi kalau mengikuti pilkada serentak tahun ini, maka masa jabatan mereka berakhir 31 Desember 2024,” ungkap Halikin.

Terkait pengajuan gugatan beberapa kepala daerah ke MK, praktisi hukum yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Tambun Bungai, Hendrico Fransiscust SH MHum menilai hal tersebut merupakan hak hukum dari para kepala daerah.

“Menurut pendapat pribadi saya yang juga berdasarkan asas asas hukum pemerintah yang baik, semua orang berhak melakukan upaya hukum, termasuk mengajukan gugatan terkait kedudukan posisi kepala daerah dengan adanya pilkada serentak 2024,” kata Hendrico yang merupakan pengacara yang tergabung Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kalteng.

Baca Juga :  Emak-emak Curi Rokok, Dimasukkan ke Dalam Rok

Menurutnya, hak untuk mengajukan gugatan ke MK merupakan bagian dari hak konstitusional yang dimiliki tiap warga negara, termasuk pejabat kepala daerah. Terkait apakah gugatan Apkasi tersebut dapat dikabulkan oleh MK atau tidak, Hendrico tidak bisa memprediksi.

“Masalah menang atau tidak itu bukan kewenangan saya atau orang lain, hanya hakim yang mengadili dan memeriksa perkara itu yang dapat memutuskan,” ujar Hendrico yang saat diwawancarai didampingi rekan pengacara, Andik Eko Pribadi.

Hendrico memahami bahwa pelaksanaan pilkada serentak 2024 memiliki beberapa dampak. Di satu sisi, tujuan pemerintah melaksanakan pilkada serentak adalah untuk meringankan beban anggaran pemerintah terkait biaya pelaksanaan pilkada yang biasanya cukup besar.

Selain itu, tujuan dari dilakukannya pilkada serentak adalah agar terdapat kestabilan terkait masa jabatan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, karena dilaksanakan serempak.

“Tujuan negara melakukan (pilkada) serentak itu supaya biaya ringan dan murah dan pemberlakuannya bersamasama,” tuturnya.

Namun diakuinya pula bahwa pelaksanaan pilkada serentak juga memiliki dampak terkait masa jabatan dari kepala daerah, terutama yang masih menjabat. Otomatis masa jabatan mereka terpangkas.

“Ya, memang enggak rata, ada mungkin baru menjabat 3,5 tahun, 4 tahun, atau 4,5 tahun, tetapi sudah digelar lagi pilkada,” katanya.

Terkait apakah masa jabatan kepala daerah tetap bisa berlaku 5 tahun meski dilaksanakan pilkada serentak 2024, Hendrico berpendapat bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi, karena jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

“Kalau menurut saya, akibat adanya pilkada itu memang harus mengurangi masa jabatan kepala daerah, apalagi kepala daerah itu kedudukan jabatan politis,” ujarnya.

“Jika tetap minta 5 tahun masa kerja, tentu masa kerjanya selesai tahun 2026 atau 2027, lantas siapa yang menjabat kepala daerah di sisa waktu itu, masa harus ditunjuk pj lagi, jelas tidak mungkin,” katanya.

Diakuinya bahwa aturan undang-undang itu berpotensi merugikan bagi sejumlah pihak, terutama para kepala daerah. Namun ia juga mengingatkan terkait prinsip dari aturan hukum sendiri, yaitu bertujuan menjaga kesetaraan hak dari tiap orang atau warga negara.

“Hukum itu memang tidak bisa memenuhi hak semua orang, tetapi setidaknya dia bisa menjaga kesetaraan ha semua orang,” tegasnya.

Sementara, pengamat ilmu politik dan pemerintahan, Farid Zaky Yopiannor berpendapat, gugatan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya langsung maupun tidak langsung yang dapat mendelegitimasi pilkada serentak 2024.

Baca Juga :  Sopir Bus Mengaku Tidak Dalam Kondisi Mengantuk

“Ini efek goncangan politik nasional akhir-akhir ini usai presiden secara terang-terangan terindikasi tidak netral, alhasil para pimpinan daerah pun sekarang melirik peluang untuk mengajukan gugatan ke MK,” ungkap Zaky kepada Kalteng Pos, Jumat (2/2).

Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) itu, MK kini makin menjadi magnet gugatan dari berbagai isu nasional hingga daerah. Para kepala daerah, lanjutnya, harus mengerti dan dapat memposisikan politik dan birokrasi (administrasi) secara proporsional.

“Di tengah eskalasi menjelang tanggal 14 Februari menyebabkan relasi politik dan birokrasi menjadi kabur, akibat adanya indikasi ketidaknetralan aparat administratif yang mendukung paslon tertentu,” ujarnya.

Ia berpendapat, jika gugatan pengurangan masa jabatan tersebut dikabulkan, maka tentu akan ada semacam “diskon” masa jabatan bagi kepala daerah yang bersangkutan. Kondisi semacam ini, tuturnya, dapat membuat atmosfer pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak menjadi kehilangan legitimasinya.

“Kalau dikabulkan, pilkada serentak akan kehilangan roh legitimasinya, karena akan terus digoyang oleh para kepala daerah yang mendapat ‘diskon’ masa jabatan,” ungkap Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute ini.

Ada segelintir orang yang berpendapat bahwa masa jabatan kepala daerah yang dikurangi sebaiknya dikembalikan saja ke undang-undang yang berlaku, yakni genap lima tahun masa jabatan. Sebab, seharusnya pemilihan serentak tak mengurangi hak memimpin selama lima tahun. Zaky menyebut, seharusnya demikian. Namun, kepala daerah seharusnya bersikap lebih bijak, karena perlu memikirkan implikasi teknis secara birokratis dan legitimasi pilkada serentak.

“Semestinya begitu, tetapi ini karena hasrat elite yang tidak memikirkan implikasi teknis dan aspek keselamatan dalam konteks pilkada serentak, akhirnya kan ‘maju kena mundur kena’. Sekarang jadi ragu lagi, mau pilkada serentak melihat risiko yang besar. Misalnya, kalau ada gugatan dan sebagainya, pasti akan menumpuk,” jelas Zaky.

Zaky mengakui bahwa pemilihan serentak memang sudah semestinya tidak mengurangi hak menjabat satu periode penuh, jika dilakukan dengan hati-hati dan cermat.

“Dalam kebijakan itu, mestinya juga dipikirkan konsekuensi yang tidak terduga seperti ini, bukan hanya fokus pada hasrat berkuasa saja,” tandasnya. (bah/sja/dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Dampak dari pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 menyebabkan masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada tahun 2020 tidak genap lima tahun. Sejumlah kepala daerah di Indonesia akhirnya mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejauh ini ada 11 kepala daerah yang mengajukan gugatan, didominasi gubernur, bupati dan wali kota dari Pulau Sumatera dan Sulawesi.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), tercatat dua kepala daerah yang masa jabatannya belum sampai lima tahun pada tahun 2024. Mereka adalah Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran dan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) H Halikinnor.

Bupati Kotim H Halikinnor mengatakan, dirinya bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) berencana mengajukan gugatan ke MK. “Saya bersama Apkasi sepakat akan menggugat ke MK agar periode kepala daerah daerah angkatan terakhir tetap sesuai undang-undang yaitu 5 tahun,” kata Halikin, Minggu (28/1).

Dirinya mengatakan beberapa waktu lalu telah mengadakan rapat koordinasi terkait rencana gugatan terhadap MK. Apkasi pun tengah mematangkan materi gugatan tentang masa jabatan kepala daerah hasil pilkada 2020 ke MK, di dalamnya menekankan agar MK mengikuti aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Pilkada, bahwa tiap kepala daerah memiliki masa jabatan 5 tahun.

Menurutnya lebih dari 50 persen kepala daerah di Indonesia berpotensi mengalami pengurangan masa jabatan sehubungan dengan digelarnya pilkada serentak 2024, karena jumlahnya sangat besar, ada 9 gubernur, 31 wali kota, dan 217 bupati.

“Kita telah sepakat dengan asosiasi gubernur dan wali kota untuk bersama-sama mengajukan gugatan ke MK, karena sesuai aturan dalam undang-undang, masa jabatan mereka sampai 2026, tetapi kalau mengikuti pilkada serentak tahun ini, maka masa jabatan mereka berakhir 31 Desember 2024,” ungkap Halikin.

Terkait pengajuan gugatan beberapa kepala daerah ke MK, praktisi hukum yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Tambun Bungai, Hendrico Fransiscust SH MHum menilai hal tersebut merupakan hak hukum dari para kepala daerah.

“Menurut pendapat pribadi saya yang juga berdasarkan asas asas hukum pemerintah yang baik, semua orang berhak melakukan upaya hukum, termasuk mengajukan gugatan terkait kedudukan posisi kepala daerah dengan adanya pilkada serentak 2024,” kata Hendrico yang merupakan pengacara yang tergabung Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kalteng.

Baca Juga :  Emak-emak Curi Rokok, Dimasukkan ke Dalam Rok

Menurutnya, hak untuk mengajukan gugatan ke MK merupakan bagian dari hak konstitusional yang dimiliki tiap warga negara, termasuk pejabat kepala daerah. Terkait apakah gugatan Apkasi tersebut dapat dikabulkan oleh MK atau tidak, Hendrico tidak bisa memprediksi.

“Masalah menang atau tidak itu bukan kewenangan saya atau orang lain, hanya hakim yang mengadili dan memeriksa perkara itu yang dapat memutuskan,” ujar Hendrico yang saat diwawancarai didampingi rekan pengacara, Andik Eko Pribadi.

Hendrico memahami bahwa pelaksanaan pilkada serentak 2024 memiliki beberapa dampak. Di satu sisi, tujuan pemerintah melaksanakan pilkada serentak adalah untuk meringankan beban anggaran pemerintah terkait biaya pelaksanaan pilkada yang biasanya cukup besar.

Selain itu, tujuan dari dilakukannya pilkada serentak adalah agar terdapat kestabilan terkait masa jabatan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, karena dilaksanakan serempak.

“Tujuan negara melakukan (pilkada) serentak itu supaya biaya ringan dan murah dan pemberlakuannya bersamasama,” tuturnya.

Namun diakuinya pula bahwa pelaksanaan pilkada serentak juga memiliki dampak terkait masa jabatan dari kepala daerah, terutama yang masih menjabat. Otomatis masa jabatan mereka terpangkas.

“Ya, memang enggak rata, ada mungkin baru menjabat 3,5 tahun, 4 tahun, atau 4,5 tahun, tetapi sudah digelar lagi pilkada,” katanya.

Terkait apakah masa jabatan kepala daerah tetap bisa berlaku 5 tahun meski dilaksanakan pilkada serentak 2024, Hendrico berpendapat bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi, karena jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

“Kalau menurut saya, akibat adanya pilkada itu memang harus mengurangi masa jabatan kepala daerah, apalagi kepala daerah itu kedudukan jabatan politis,” ujarnya.

“Jika tetap minta 5 tahun masa kerja, tentu masa kerjanya selesai tahun 2026 atau 2027, lantas siapa yang menjabat kepala daerah di sisa waktu itu, masa harus ditunjuk pj lagi, jelas tidak mungkin,” katanya.

Diakuinya bahwa aturan undang-undang itu berpotensi merugikan bagi sejumlah pihak, terutama para kepala daerah. Namun ia juga mengingatkan terkait prinsip dari aturan hukum sendiri, yaitu bertujuan menjaga kesetaraan hak dari tiap orang atau warga negara.

“Hukum itu memang tidak bisa memenuhi hak semua orang, tetapi setidaknya dia bisa menjaga kesetaraan ha semua orang,” tegasnya.

Sementara, pengamat ilmu politik dan pemerintahan, Farid Zaky Yopiannor berpendapat, gugatan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya langsung maupun tidak langsung yang dapat mendelegitimasi pilkada serentak 2024.

Baca Juga :  Sopir Bus Mengaku Tidak Dalam Kondisi Mengantuk

“Ini efek goncangan politik nasional akhir-akhir ini usai presiden secara terang-terangan terindikasi tidak netral, alhasil para pimpinan daerah pun sekarang melirik peluang untuk mengajukan gugatan ke MK,” ungkap Zaky kepada Kalteng Pos, Jumat (2/2).

Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) itu, MK kini makin menjadi magnet gugatan dari berbagai isu nasional hingga daerah. Para kepala daerah, lanjutnya, harus mengerti dan dapat memposisikan politik dan birokrasi (administrasi) secara proporsional.

“Di tengah eskalasi menjelang tanggal 14 Februari menyebabkan relasi politik dan birokrasi menjadi kabur, akibat adanya indikasi ketidaknetralan aparat administratif yang mendukung paslon tertentu,” ujarnya.

Ia berpendapat, jika gugatan pengurangan masa jabatan tersebut dikabulkan, maka tentu akan ada semacam “diskon” masa jabatan bagi kepala daerah yang bersangkutan. Kondisi semacam ini, tuturnya, dapat membuat atmosfer pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak menjadi kehilangan legitimasinya.

“Kalau dikabulkan, pilkada serentak akan kehilangan roh legitimasinya, karena akan terus digoyang oleh para kepala daerah yang mendapat ‘diskon’ masa jabatan,” ungkap Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute ini.

Ada segelintir orang yang berpendapat bahwa masa jabatan kepala daerah yang dikurangi sebaiknya dikembalikan saja ke undang-undang yang berlaku, yakni genap lima tahun masa jabatan. Sebab, seharusnya pemilihan serentak tak mengurangi hak memimpin selama lima tahun. Zaky menyebut, seharusnya demikian. Namun, kepala daerah seharusnya bersikap lebih bijak, karena perlu memikirkan implikasi teknis secara birokratis dan legitimasi pilkada serentak.

“Semestinya begitu, tetapi ini karena hasrat elite yang tidak memikirkan implikasi teknis dan aspek keselamatan dalam konteks pilkada serentak, akhirnya kan ‘maju kena mundur kena’. Sekarang jadi ragu lagi, mau pilkada serentak melihat risiko yang besar. Misalnya, kalau ada gugatan dan sebagainya, pasti akan menumpuk,” jelas Zaky.

Zaky mengakui bahwa pemilihan serentak memang sudah semestinya tidak mengurangi hak menjabat satu periode penuh, jika dilakukan dengan hati-hati dan cermat.

“Dalam kebijakan itu, mestinya juga dipikirkan konsekuensi yang tidak terduga seperti ini, bukan hanya fokus pada hasrat berkuasa saja,” tandasnya. (bah/sja/dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/