Selasa, April 30, 2024
25.2 C
Palangkaraya

Menapaktilasi Jejak Perjuangan Tokoh Islam di Tanah Barito (4)

Panglima Burung Nuri Turut Berjuang Menenggelamkam Kapal Onrust

Suatu ketika pihak Belanda mengundang Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati untuk mengadakan perundingan di atas kapal perang Belanda bernama Onrust, yang sedang berlabuh di Teluk Lalutung Tuor, hilir Kota Muara Teweh. Markasim bergelar Panglima Burung Nuri dari Kampung Santallar bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati.

 

ROBY CAHYADI, Muara Teweh

PENDUDUK baru tersebut bernama Markasim, sempat menetap di Kampung Sikan, kemudian pindah ke Tumpung Laung, Kabupaten Barito Utara. Ketika mendengar di Kampung Santallar (tidak jauh dari Tumpung Laung) ada seorang imam masjid berilmu tinggi, ia pun datang beserta keluarganya ke Kampung Santallar, ikut bergabung memperdalam ilmu yang telah ia miliki melalui bimbingan dan ajaran R Aji Sulaiman, Imam Masjid Nurul Yaqin.

Markasim menetap menjadi penduduk Kampung Santallar. Salah seorang anak laki-lakinya bernama Mat Tinggal dijodohkan dengan anak Muhammad Tarai yang bernama Bintang Zahara (cucu R Aji Sulaiman).

Meski telah memiliki ilmu, Markasim memperdalam lagi ilmu agama dan ilmu kepahlawanan di bawah  bimbingan R Aji Sulaiman. Maka bertambahlah ilmu agama serta ilmu kanuragan yang dimilikinya.

Sebelumnya Markasim juga seorang guru pencak silat. Sering terlihat ia berlatih. Saking cepatnya, seakan tidak terlihat pergerakan tangannya, tahu-tahu sasaran yang ditinju roboh seketika. Lalu ia bisa melayang seperti seekor burung, tidak mengeluarkan bunyi, sehingga Markasim dijuluki dengan gelar Panglima Burung Nuri.

Salah seorang anak perempuan Markasim dijodohkan dengan seorang Dayak Maanyan bernama Imas bin Nganti, cucu dari seorang pemuka suku Dayak Maayan Paju Empat, bernama Suta Ono. Setelah memeluk agama Islam dan nikah dengan Bawin binti Markasim, nama Imas diubah menjadi Masdar bin Nganti bin Suta Ono.

Ada pula lima tokoh pendatang baru yang menetap di Kampung Santallar. Satu orang berasal dari Kampung Kunut di atas Puruk Cahu, yaitu Tumenggung Baling Karta bergelar Panglima Kumbang Bakoi. Dari Kampung Lahei Temanggung Lawas bergelar Panglima Ujan Panas, satu orang berasal dari Kandangan bernama Darpa bergelar Panglima Datuk Kupiah Kajang, dan dua orang lagi berasal dari Tambak Bitin bernama Abdullah, bergelar Panglima Pating Samben, yang satunya berasal dari kampung Utus bernama Lamin, bergelar Panglima Batu Amping.

Baca Juga :   Mayoritas Warga Flamboyan Bawah Setuju Direlokasi ke Tempat Aman

“Mereka berlima ini ikut berguru dan jadi pengikut setia R Aji Sulaiman, berkat ajaran yang mereka dapatkan, jadilah mereka orang-orang berilmu tinggi di bidang ilmu dan kanuragan, sehingga mereka mendapat gelar seperti itu,” terang Mardiansyah (keturunan R Aji Sulaiman) didampingi Suyanta, warga Kelurahan Montallat II, Kabupaten Barito Utara yang menunjukkan lokasi Kampung Santallar beserta makam para pejuang, Jumat (24/3).

Menurutnya, zaman dahulu gelar panglima yang disandang oleh seseorang bukan karena pendidikan atau jabatan, melainkan karena ilmu yang dimiliki dan keberanian yang dapat dibuktikan secara nyata, berperilaku baik, dan punya kemampuan memimpin.

Populasi penduduk Kampung Santallar dan sekitarnya saat ini didominasi oleh keturunan R Aji Sulaiman dan keturunan para pengikutnya. Sehingga banyak keturunan R Aji Sulaiman dan para pengikutnya yang sampai saat ini bekerja di bidang pemerintahan, menjadi pegawai negeri sipil, aparat, serta instansi lainnya.

Mendekati pertengah abad ke-18, Kesultanan Banjar bergejolak menetang penjajah Belanda. Terjadi perselisihan dan persaingan di Kerajaan Banjar. Kemudian ada berita bahwa Pangeran Antasari beserta para pengikutnya telah pergi menghimpun kekuatan serta membangun benteng pertahanan di Barito Hulu, dengan didukung seorang tumenggung bernama Tumenggung Surapati.

Ketika menerima kedatangan Pangeran Antasari dari Kerajaan Banjar yang berniat membangun benteng untuk melawan pejajah Belanda, Tumenggung Surapati langsung setuju, lalu bergabung dengan Pangeran Antasari.

Penyerangan demi penyerangan dilancarkan oleh Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati, dan para pengikut, serta dibantu penduduk kampung, terhadap benteng pertahanan Belanda di Muara Teweh dan benteng pertahanan lainnya. Akhirnya pihak Belanda mengundang Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati untuk mengadakan perundingan di atas Kapal Perang Belanda bernama Onrust, yang kala itu sedang berlabuh di Teluk Lalutung Tuor di Hilir Kota Muara Teweh.

Ketika itulah R Aji Sulaiman menghimpun para tokoh pejuang lokal di Kampung Santallar, bermusyawarah di Masjid Jami Nurul Yaqin untuk memilih serta menunjuk siapa yang diberangkatkan untuk bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati. Orang yang dipilih oleh R Aji Sulaiman adalah Markasim alias Panglima Burung Nuri.

Baca Juga :  Muhammad Seman Meneruskan Perjuangan Ayah Mengusir Penjajah

Kemudian berangkatlah Markasim seorang diri. Setibanya di Juking Ara, ia bertemu dengan seorang tokoh bernama Singa Ngenuh, Dayak Taboyan dari Desa Majangkan. Keduanya meneruskan perjalanan menggunakan kelotok, lalu bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati di Teluk Mayang.

Hari perundingan telah tiba. Markasim dan Singa Ngenuh bergabung dalam kubu Tumenggung Surapati. Mereka berangkat menuju Teluk Lalutung Tuor yang menjadi lokasi perundingang, tepatnya di kapal perang milik Belanda bernama Onrust. Ketika perundingan akan dimulai, tiba-tiba ada teriakan “amuuuk”. Alhasil perundingan pun batal dilaksanakan. Terjadilah pertempuran antara pasukan Tumenggung Surapati melawan serdadu Belanda di atas kapal itu.

Dengan gagah berani, pasukan Tumenggung Surapati merangsek masuk ke dalam kapal perang sambil menebaskan mandau, parang rungkup, dan tombak ke para serdadu Belanda. Begitu pun dengan Markasim Panglima Burung Nuri. Dengan mandau selendang mayang terhunus, di bawah hujan peluru serta bunyi tembakan musuh yang memekakkan telinga serta bacokan pedang, ia terus maju. Masuk ke bagian dalam kapal menuju palka, lalu segera membuka keran, sehingga air sungai pun masuk ke dalam kapal itu. Tak berapa lama, kapal mulai oleng dan tenggelam, dimulai dari buritannya. Dalam pertempuran itu, banyak serdadu Belanda yang tewas. Namun ada juga yang melarikan diri dengan menceburkan diri ke Sungai Barito. Pasukan Tumenggung Surapati pun pulang dengan membawa kemenangan.

Bukti arkeologis bangkai Kapal Onrust yang tenggelam tahun 1859 itu masih bisa dilihat sampai sekarang di Sungai Barito, Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara.

Pada penghujung bulan Februari 1860, Markasim Panglima Burung Nuri diam-diam pulang ke Kampung Santallar. Ia pun menceritakan pengalaman serta keterlibatannya dalam perang di Lalutung Tuor bersama pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati. (bersambung/ce/ala)

Suatu ketika pihak Belanda mengundang Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati untuk mengadakan perundingan di atas kapal perang Belanda bernama Onrust, yang sedang berlabuh di Teluk Lalutung Tuor, hilir Kota Muara Teweh. Markasim bergelar Panglima Burung Nuri dari Kampung Santallar bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati.

 

ROBY CAHYADI, Muara Teweh

PENDUDUK baru tersebut bernama Markasim, sempat menetap di Kampung Sikan, kemudian pindah ke Tumpung Laung, Kabupaten Barito Utara. Ketika mendengar di Kampung Santallar (tidak jauh dari Tumpung Laung) ada seorang imam masjid berilmu tinggi, ia pun datang beserta keluarganya ke Kampung Santallar, ikut bergabung memperdalam ilmu yang telah ia miliki melalui bimbingan dan ajaran R Aji Sulaiman, Imam Masjid Nurul Yaqin.

Markasim menetap menjadi penduduk Kampung Santallar. Salah seorang anak laki-lakinya bernama Mat Tinggal dijodohkan dengan anak Muhammad Tarai yang bernama Bintang Zahara (cucu R Aji Sulaiman).

Meski telah memiliki ilmu, Markasim memperdalam lagi ilmu agama dan ilmu kepahlawanan di bawah  bimbingan R Aji Sulaiman. Maka bertambahlah ilmu agama serta ilmu kanuragan yang dimilikinya.

Sebelumnya Markasim juga seorang guru pencak silat. Sering terlihat ia berlatih. Saking cepatnya, seakan tidak terlihat pergerakan tangannya, tahu-tahu sasaran yang ditinju roboh seketika. Lalu ia bisa melayang seperti seekor burung, tidak mengeluarkan bunyi, sehingga Markasim dijuluki dengan gelar Panglima Burung Nuri.

Salah seorang anak perempuan Markasim dijodohkan dengan seorang Dayak Maanyan bernama Imas bin Nganti, cucu dari seorang pemuka suku Dayak Maayan Paju Empat, bernama Suta Ono. Setelah memeluk agama Islam dan nikah dengan Bawin binti Markasim, nama Imas diubah menjadi Masdar bin Nganti bin Suta Ono.

Ada pula lima tokoh pendatang baru yang menetap di Kampung Santallar. Satu orang berasal dari Kampung Kunut di atas Puruk Cahu, yaitu Tumenggung Baling Karta bergelar Panglima Kumbang Bakoi. Dari Kampung Lahei Temanggung Lawas bergelar Panglima Ujan Panas, satu orang berasal dari Kandangan bernama Darpa bergelar Panglima Datuk Kupiah Kajang, dan dua orang lagi berasal dari Tambak Bitin bernama Abdullah, bergelar Panglima Pating Samben, yang satunya berasal dari kampung Utus bernama Lamin, bergelar Panglima Batu Amping.

Baca Juga :   Mayoritas Warga Flamboyan Bawah Setuju Direlokasi ke Tempat Aman

“Mereka berlima ini ikut berguru dan jadi pengikut setia R Aji Sulaiman, berkat ajaran yang mereka dapatkan, jadilah mereka orang-orang berilmu tinggi di bidang ilmu dan kanuragan, sehingga mereka mendapat gelar seperti itu,” terang Mardiansyah (keturunan R Aji Sulaiman) didampingi Suyanta, warga Kelurahan Montallat II, Kabupaten Barito Utara yang menunjukkan lokasi Kampung Santallar beserta makam para pejuang, Jumat (24/3).

Menurutnya, zaman dahulu gelar panglima yang disandang oleh seseorang bukan karena pendidikan atau jabatan, melainkan karena ilmu yang dimiliki dan keberanian yang dapat dibuktikan secara nyata, berperilaku baik, dan punya kemampuan memimpin.

Populasi penduduk Kampung Santallar dan sekitarnya saat ini didominasi oleh keturunan R Aji Sulaiman dan keturunan para pengikutnya. Sehingga banyak keturunan R Aji Sulaiman dan para pengikutnya yang sampai saat ini bekerja di bidang pemerintahan, menjadi pegawai negeri sipil, aparat, serta instansi lainnya.

Mendekati pertengah abad ke-18, Kesultanan Banjar bergejolak menetang penjajah Belanda. Terjadi perselisihan dan persaingan di Kerajaan Banjar. Kemudian ada berita bahwa Pangeran Antasari beserta para pengikutnya telah pergi menghimpun kekuatan serta membangun benteng pertahanan di Barito Hulu, dengan didukung seorang tumenggung bernama Tumenggung Surapati.

Ketika menerima kedatangan Pangeran Antasari dari Kerajaan Banjar yang berniat membangun benteng untuk melawan pejajah Belanda, Tumenggung Surapati langsung setuju, lalu bergabung dengan Pangeran Antasari.

Penyerangan demi penyerangan dilancarkan oleh Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati, dan para pengikut, serta dibantu penduduk kampung, terhadap benteng pertahanan Belanda di Muara Teweh dan benteng pertahanan lainnya. Akhirnya pihak Belanda mengundang Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati untuk mengadakan perundingan di atas Kapal Perang Belanda bernama Onrust, yang kala itu sedang berlabuh di Teluk Lalutung Tuor di Hilir Kota Muara Teweh.

Ketika itulah R Aji Sulaiman menghimpun para tokoh pejuang lokal di Kampung Santallar, bermusyawarah di Masjid Jami Nurul Yaqin untuk memilih serta menunjuk siapa yang diberangkatkan untuk bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati. Orang yang dipilih oleh R Aji Sulaiman adalah Markasim alias Panglima Burung Nuri.

Baca Juga :  Muhammad Seman Meneruskan Perjuangan Ayah Mengusir Penjajah

Kemudian berangkatlah Markasim seorang diri. Setibanya di Juking Ara, ia bertemu dengan seorang tokoh bernama Singa Ngenuh, Dayak Taboyan dari Desa Majangkan. Keduanya meneruskan perjalanan menggunakan kelotok, lalu bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati di Teluk Mayang.

Hari perundingan telah tiba. Markasim dan Singa Ngenuh bergabung dalam kubu Tumenggung Surapati. Mereka berangkat menuju Teluk Lalutung Tuor yang menjadi lokasi perundingang, tepatnya di kapal perang milik Belanda bernama Onrust. Ketika perundingan akan dimulai, tiba-tiba ada teriakan “amuuuk”. Alhasil perundingan pun batal dilaksanakan. Terjadilah pertempuran antara pasukan Tumenggung Surapati melawan serdadu Belanda di atas kapal itu.

Dengan gagah berani, pasukan Tumenggung Surapati merangsek masuk ke dalam kapal perang sambil menebaskan mandau, parang rungkup, dan tombak ke para serdadu Belanda. Begitu pun dengan Markasim Panglima Burung Nuri. Dengan mandau selendang mayang terhunus, di bawah hujan peluru serta bunyi tembakan musuh yang memekakkan telinga serta bacokan pedang, ia terus maju. Masuk ke bagian dalam kapal menuju palka, lalu segera membuka keran, sehingga air sungai pun masuk ke dalam kapal itu. Tak berapa lama, kapal mulai oleng dan tenggelam, dimulai dari buritannya. Dalam pertempuran itu, banyak serdadu Belanda yang tewas. Namun ada juga yang melarikan diri dengan menceburkan diri ke Sungai Barito. Pasukan Tumenggung Surapati pun pulang dengan membawa kemenangan.

Bukti arkeologis bangkai Kapal Onrust yang tenggelam tahun 1859 itu masih bisa dilihat sampai sekarang di Sungai Barito, Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara.

Pada penghujung bulan Februari 1860, Markasim Panglima Burung Nuri diam-diam pulang ke Kampung Santallar. Ia pun menceritakan pengalaman serta keterlibatannya dalam perang di Lalutung Tuor bersama pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati. (bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/