Namun, jika terdapat gejala berat, pasien harus melakukan bed rest di rumah sakit karena harus dimonitor dengan sangat ketat. Setelah kehamilan pun, pasien preeklamsia juga bisa menerima komplikasi. Salah satunya hipertensi jangka panjang dengan angka risiko sebesar 3,5 persen. “Tapi, kalau preeklamsia berulang, apalagi berakhir prematur, maka kurang lebih 10 tahun ke depan akan mengalami gangguan jantung yang lain,” imbuh Cininta.
Meski membahayakan, sejatinya preeklamsia bisa dicegah. Langkah pertama pencegahan adalah mengenali faktor risiko (selengkapnya ada di grafis). “Saat pemeriksaan dokter, ibu hamil akan dinilai semua sesuai faktor risikonya,” kata Cininta. Pemeriksaan itu meliputi USG untuk menilai aliran darah yang masuk ke rahim dan plasenta janin.
“Kalau sudah dinilai ada faktor risiko dari riwayat dan USG, kita (dokter, Red) bisa memberikan aspirin dosis rendah,” terang Cininta. Dia mengungkapkan, banyak studi membuktikan bahwa pemberian aspirin dosis rendah menurunkan risiko hingga 17 persen.
Jangan Konsumsi Sembarangan
Saat mengandung, lampu merah menyala sebagai tanda ibu hamil tidak boleh melakukan sesuatu sembarangan. Tak terkecuali mengonsumsi obat. Dr dr Ernawati D. SpOG(K) mengatakan, yang sifatnya obat itu, lanjut Ernawati, wajib dikonsultasikan dengan dokter. Jangan asal diminum.
Ernawati menuturkan, pengobatan preventif diberikan setelah pasien menjalani serangkaian pemeriksaan. “Oh, ada faktor risiko, tensinya bagaimana. Lebih mengerucut lagi pemeriksaan aliran darah ke bayi dan ibu,” jelasnya.
Dokter yang tergabung di Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu menuturkan, aspirin bak pedang dengan dua mata pisau. Dokter melihat detail kondisi ibu dan bayi sebelum memberikan resep. “Tidak semua pasien disamaratakan,” tegasnya.